Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kangen Menggendong Ibu

24 Desember 2023   05:58 Diperbarui: 24 Desember 2023   06:57 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya, Ibu, dan kursi roda. Foto: Isson Khairul

Bu,

Saya ingat, Ibu menangis di depan saya. Ketika itu, Ibu memasangkan kain sarung, melilitkannya di pinggang saya. Kala itu, saya menjelang 30 tahun. Kita hanya berdua: Ibu dan saya. Hari masih pagi dan Ibu menyiapkan pakaian untuk saya, pakaian untuk menjalani prosesi akad nikah.

Ibu sama sekali tidak berkata-kata. Sesekali Ibu menepuk-nepuk kedua pipi saya. Memijit-mijit kedua bahu saya. Juga, mengusap-usap kepala saya. Tanpa kata-kata. Dan, air mata Ibu tanpa henti merembes. Menerobos kedua kelopak mata Ibu, yang mulai berkerut.

Saya hanya diam. Saya ingat, Ibu juga pernah menangis seperti itu, ketika Ibu memasangkan sarung kepada saya untuk pertama kalinya saya pergi shalat Jumat ke masjid. Ibu juga tidak berkata-kata. Segalanya menjelma dalam air mata Ibu.

Bertahun kemudian, Ibu sudah tak kuat lagi berjalan. Ibu lebih banyak di kursi roda. Saya selalu menggendong Ibu, mendudukkan Ibu di kursi roda. Juga, menggendong Ibu dari kursi roda ke jok mobil, tiap kali saya mengajak Ibu melihat-lihat kota.

Ketika Bapak masih ada, Ibu dan Bapak beberapa kali ke masjidil haram di Mekah. Setelah Bapak tiada, kita berdua ke sana. Dari rumah di tanah air, Ibu sudah berkursi roda. Tiap kali pindah tempat, tiap kali itu pula saya gendong Ibu.

Kita melakukan tawaf di lantai dua masjidil haram di Mekah. Satu putaran bisa sekitar satu kilometer. Maka, tujuh putaran, ya tujuh kilometer. Tiap kali ke masjid, tiap kali itu pula kita tawaf berdua di lantai dua. Ibu duduk di kursi roda, saya mendorong kursi roda dari belakang.

Tapak kaki saya melepuh, Bu. Tapi, saya tak ingin mengatakannya kepada Ibu. Saya nikmati perihnya, karena saya menyadari hal itu tidak ada apa-apanya, bila dibandingkan dengan ketika Ibu bertaruh nyawa saat melahirkan saya ke bumi.

Kini, saya beranjak tua, melebihi 60 tahun. Ibu sudah jauh lebih tua, melebihi 80 tahun. Saya di perantauan. Ibu di kampung halaman. Mungkin, Ibu kangen saya gendong ke kursi roda. Yang pasti, saya sangat kangen untuk menggendong Ibu, mengajak Ibu ke sungai kecil yang mengalir di depan rumah kita di kampung.

Sehat-sehat ya, Bu. Semakin tua, semakin terasa dalam maknanya kangen. Maafkan saya, Bu. Semoga kita masih dipertemukan-Nya di Lebaran nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun