Hutabaringin Julu. Ini salah satu dari 11 desa di Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Desa-desa tersebut menjadi sentra Kopi Mandailing, yang nikmatnya sudah mendunia.
Kopi di Atas dan di Bawah 1.000 MDPL
Sapuan angin pagi menggetarkan seluruh daun. Itulah salah satu berkah dari ketinggian 1.900 meter di atas permukaan laut. Hamparan kebun kopi di Desa Hutabaringin Julu tersebut, menjadi energi hidup warga yang bermukim di seputaran kaki Gunung Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Sorik Marapi adalah gunung berapi aktif dengan ketinggian 2.145 meter di atas permukaan laut (mdpl). Secara lokasi, gunung ini masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Ada sejumlah pemukiman warga di seputar gunung tersebut, yang menggantungkan hidup mereka dari aktivitas bertani dan berkebun.
Salah satunya adalah Desa Hutabaringin Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal. Desa itu berjarak sekitar 30 kilometer dari Panyabungan, kecamatan yang sekaligus menjadi ibu kota Kabupaten Mandailing Natal.
Secara keseluruhan, sejak beberapa tahun belakangan, warga desa-desa di Kecamatan Puncak Sorik Marapi memang menggalakkan kebun kopi. Mereka menanam Kopi Arabika, rata-rata di ketinggian 1.000 mdpl. Hamparan kebun kopi bisa kita temukan, antara lain, di Desa Hutatinggi, Hutanamale, Hutabaringin Julu, Hutabaringin MG, dan Sibanggor Julu.
Kopi yang berasal dari Desa Hutabaringin Julu, tentulah memiliki kekhasan tersendiri, karena ditanam di atas ketinggian rata-rata, yaitu 1.900 meter mdpl. Sejumlah penelitian mencatat, kopi yang ditanam di ketinggian lebih dari 1.300 mdpl, biji kopi yang dihasilkan cenderung lebih padat. Garis tengah di biji kopi tersebut lebih rapat dan membentuk garis zig-zag.
Kondisi biji kopi yang demikian, tentu saja tidak akan kita temukan pada biji kopi yang dihasilkan oleh kopi yang ditanam di ketinggian 1.000 mdpl ke bawah. Perbedaan tersebut terjadi karena tingkat kelembaban dan kondisi udara di ketinggian 1.000 mdpl ke atas dan 1.000 mdpl ke bawah, berbeda.
Selain itu, kondisi tanah tempat tumbuhnya sang kopi, juga berbeda di dua kategori ketinggian tersebut, akibat perbedaan curah hujan. Semakin tinggi suatu tempat, maka semakin tinggi pula curah hujannya. Dalam konteks Kopi Arabika, waktu produksi kopi yang ditanam di atas ketinggian 1.000 mdpl, akan lebih lama dibandingkan dengan yang ditanam di bawah 1.000 mdpl.
Jepang, Peluang Kopi Mandailing