Tiap etnis di negeri ini memiliki mantra. Dosen Universitas Indonesia Maman S. Mahayana menguakkan mantra dalam karya-karya Sutardji Calzoum Bachri. Datanglah ke PDS HB Jassin, Selasa, 20 Juni 2023, pukul 14.30 WIB.
Mantra Jadi Peluru
Mantra tumbuh subur di seluruh pelosok negeri. Tradisi lisan itu mengandalkan kekuatan bunyi, pengulangan bunyi, yang menimbulkan aura magis dan mistis. Ada yang menyebutnya, jampi-jampi.
Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri didominasi oleh mantra. Dalam hal ini, mantra dari Tanah Melayu, yang menjadi latar kehidupan Sutardji. Ia lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada 24 Juni 1941. Pada Sabtu, 24 Juni 2023 mendatang, Sutardji memasuki usia 82 tahun.
Secara usia dan karya, 82 Tahun Sutardji, tentulah bagian penting dalam perjalanan sastra Indonesia. "Sutardji telah melakukan pemberontakan secara estetik, terhadap puisi modern Indonesia. Pelurunya adalah mantra," ujar Maman S. Mahayana, kritikus sastra, yang menjadi tenaga pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI).
Untuk merayakan 82 Tahun Sutardji, Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) menggelar Diskusi Sastra Pemberontakan Mantra & Religiusitas. Diskusi itu akan diadakan pada Selasa, 20 Juni 2023, di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
Maman S. Mahayana diminta TISI untuk menjadi pembicara tentang Pemberontakan Mantra tersebut. Bagaimanapun juga, Maman adalah sosok yang kompeten untuk hal itu. Pada Agustus 2022 lalu, misalnya, ia menerbitkan buku Sihir Mantra, Antara Sakralitas dan Profanitas.
Di buku setebal 258 halaman itu, Maman S. Mahayana, antara lain, menelaah tentang Mantra Sebagai Puisi. "Dalam penciptaan puisi, mantra menjadi ajang permainan yang sarat daya kejut, tak terduga, dan penuh misteri," ujar Maman, yang kerap berdialog dengan Sutardji.
Pada tahun 2021, Maman S. Mahayana diminta oleh budayawan Melayu, Taufik Ikram Jamil, menulis semacam prolog untuk buku Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri: Biografi Kesaksian. Buku setebal 466 halaman tersebut, merangkum secara lengkap tentang Sutardji.
Meski demikian, Maman S. Mahayana mengaku, tidak pernah bertanya kepada Sutardji, tentang makna sajak-sajak Sang Presiden Penyair itu. Agaknya, ia tetap menjaga misteri serta sakralitas karya Sutardji tersebut. Bukan kah pembaca leluasa memaknai dan menafsir tiap puisi?