Tentang dahsyatnya pengaruh media sosial, tentu sudah banyak yang paham. Tentang banyaknya topik di media sosial yang diangkat media mainstream menjadi berita, tentu tak terbantahkan. Nah, adakah yang mendampingi content creator, ketika content mereka dipermasalahkan?
Dari Reporter hingga Pemimpin Redaksi
Content creator adalah sebutan untuk mereka yang menciptakan content di media sosial. Content mereka bisa berupa teks, foto, dan video. Bisa juga merupakan kolaborasi dari dua dan atau tiga komponen tersebut. Mereka memosting, mem-publish content ciptaan mereka di media sosial.
Antara lain, di Facebook, YouTube, Tweeter, dan Instagram. Bisa juga di Blog Pribadi atau di platform Citizen Journalism seperti Kompasiana. Secara alur penciptaan content, umumnya content creator yang dimaksud, melakukan aktivitas secara individual. Tiap individu tersebut bertanggung jawab penuh atas content yang diciptakan dan di-posting.
Dengan kata lain, sang content creator menjadi reporter, editor, fotografer, videografer, dan pemimpin redaksi atas dirinya sendiri. Atas Blog atau Akun atau Channel-nya sendiri. Ya, semua item ditangani sendiri. All in One, dari hulu hingga hilir.
Selain itu, ada juga content creator yang membuat platform media online sendiri atau dengan beberapa rekan. Membeli domain dan hosting sendiri. Mengelola media online tersebut secara individual. Menjadi reporter, editor, fotografer, videografer, dan pemimpin redaksi atas medianya sendiri.
Mereka ini menyebut diri sebagai wartawan, jurnalis. Meski, media online yang mereka kelola secara individual tersebut, belum berbadan hukum. Juga, tidak terdaftar di Dewan Pers. Umumnya, mereka ini wartawan. Mantan pekerja media massa.
Ada kalangan yang men-cap mereka sebagai wartawan abal-abal dari media abal-abal. Sementara, para content creator di media sosial tersebut di atas, di-cap sebagai bukan wartawan. Dalam konteks Undang-Undang Pokok Pers di Indonesia, karya mereka digolongkan sebagai BUKAN produk jurnalistik.
Maka, jika ada permasalahan dengan content mereka, yang diacu adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE). Bukan Undang-Undang Pokok Pers. Padahal, sebagian dari content creator di media sosial dan di media online yang belum berbadan hukum tersebut, pada masa lalu adalah wartawan sungguhan.