Sehari setelah susunan Kabinet Kerja diumumkan, Presiden Joko Widodo pun melantik 34 menteri dan dua wakil menteri di Istana Negara pada Senin (27/10/2014). Ini adalah hari ke-8 setelah Joko Widodo dan Jusuf Kalla ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Gambar kanan adalah grafik yang menunjukkan #sudahlahjokowi yang muncul di twitter sejak sekitar pukul 09.00 pagi pada Selasa (30/6/2015) dan mencapai puncaknya pada tengah hari. Foto: kompas.com dan print.kompas.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Kami tahu, pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015 hanya 4,7 persen, di bawah target yang ditetapkan Presiden 5,7 persen. Kami juga tahu, sampai awal pekan Juni 2015, penerimaan pajak baru di kisaran Rp 431 triliun atau 33 persen dari target yang ditetapkan Presiden, yaitu 40 persen pada semester I-2015.
Kami juga sudah merasakan, betapa beratnya beban hidup karena lonjakan harga barang-barang dan jasa. Semua ini adalah hasil dari kebijakan yang diciptakan Presiden. Maka, tidak pada tempatnya Presiden menuding ekonomi global sebagai biang keladinya. Sebagai kepala negara, adalah kewajiban Presiden mempertimbangkan semua hal, termasuk kondisi ekonomi global, sebelum menciptakan kebijakan. Karena, Presiden bertindak untuk dan atas nama negara.
Memilih Menteri dengan Cermat
"Proses penetapan menteri, saya lakukan dengan cermat dan hati-hati, karena kita ingin mendapatkan orang-orang yang terpilih dan bersih. Kita mengkonsultasikan pada KPK dan PPATK, karena ingin tepat dan akurat," kata Jokowi saat pengumuman kabinet di halaman belakang Istana Merdeka, Ahad, 26 Oktober 2014.[1]
Kami juga tahu bahwa Presiden telah memilih menteri dengan cermat. Di berbagai kesempatan, Presiden menyatakan bahwa para menteri yang sudah terpilih tersebut adalah orang-orang profesional. Ketika kini ada suara dari Istana bahwa ada menteri yang lambat menjalankan program pemerintah, itu adalah konsekuensi Presiden memilih mereka. Presiden yang memilih, Presiden yang mengoordinasikan, dan Presiden pula yang menilai. Otoritas penuh ada pada Presiden.
Ketika ada menteri yang diindikasikan lambat menjalankan program pemerintah, maksudnya apa? Bila dikorelasikan dengan sejumlah target pemerintah yang tidak tercapai, bukankah ketidaktercapaian tersebut merupakan performa pemerintah secara akumulatif? Bila iya, maka bukan pada tempatnya menteri yang harus menanggung risiko ketidaktercapaian tersebut. Kecuali, bila ketidaktercapaian itu diukur berdasarkan target masing-masing kementerian.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah siapa yang menetapkan target per kementerian? Menteri yang bersangkutan atau Presiden? Bila menteri yang menetapkan target untuk kementeriannya, maka sebagai seorang profesional, sang menteri tentulah wajib bertanggung jawab atas performa kementeriannya.
Sebaliknya, jika yang menetapkan target kementerian itu adalah Presiden, dan ternyata sang menteri tidak mencapai target, maka bisa jadi target yang ditetapkan Presiden tidak sepadan dengan kapasitas profesional sang menteri. Pertanggungjawabannya berada pada Presiden, karena Presiden sebelum menetapkan target kementerian yang bersangkutan sudah sepatutnya mempertimbangkan semua hal, termasuk kapasitas profesional sang menteri untuk mengeksekusinya di lapangan dan kondisi ekonomi global.