Ada 20 pabrik pengolahan kelapa sawit skala industri di Kalimantan Selatan, provinsi dengan luas wilayah 37.530,52 kilometer per segi ini. Pabrik CPO tersebut tersebar di sejumlah wilayah: di Kabupaten Tabalong (1 pabrik), Kabupaten Tanah Laut (4 pabrik), Kabupaten Tanah Bumbu (5 pabrik), dan Kabupaten Kotabaru (10 pabrik). Pabrik pengolahan kelapa sawit tersebut menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) dan Inti Sawit. Foto: bkpmd.kalselprov.go.id
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Pemerintah membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Senin (15/6/2015). Pemerintah per 1 Juli 2015 akan memberlakukan pungutan terhadap ekspor segala produk dari kelapa sawit. Inilah catatan tentang 2.800 petani sawit di Kalimantan Selatan, yang membangun pabrik crude palm oil (CPO) senilai Rp 130 miliar, secara swadaya.
Kapasitas produksi pabrik itu, 30 ton per jam. Dibangun pada Februari 2013 dan sudah beroperasi sejak Rabu (8/4/2015) lalu. Ini pabrik pengolahan kelapa sawit pertama di Indonesia, yang dimiliki petani sawit melalui koperasi. Pabrik itu didirikan petani sawit di Kecamatan Karang Bintang, sekitar 15 kilometer dari Batulicin, ibu kota Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Pabrik ini menempati areal seluas 28 hektar, yang direncanakan akan diintegrasikan dengan produksi pembibitan pohon sawit serta pengolahan produk hilir crude palm oil.
Dibangun Februari 2013, Beroperasi April 2015
Harga komoditas minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di pasar internasional, memang sedang turun dan terus turun. Penurunannya bahkan hingga 26,32 persen. Namun, kondisi tersebut tidak membuat para petani sawit di Kalimantan Selatan murung. Mereka terus berupaya untuk menjadi lebih baik, dengan berbagai cara yang mampu mereka perbuat. Salah satunya, menggalang kebersamaan serta solidaritas, untuk mencari solusi secara bersama-sama.
Akhirnya, 2.800 petani sawit di Kalsel, menghimpun diri dalam kebersamaan. Kebun sawit petani perseorangan tersebut tersebar di wilayah Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru. Selama ini, mereka dikenal sebagai petani sawit tandan buah segar (TBS). Maksudnya, mereka memanen sawit di kebun masing-masing, kemudian menjual TBS tersebut ke pabrik CPO milik industri, melalui pengepul. Harga, tentulah pihak pengepul dan pihak industri yang menetapkan. Petani TBS selama bertahun-tahun ya pasrah saja dengan kondisi tersebut.
Mata rantai perdagangan TBS hingga sampai ke pabrik CPO milik industri, nyaris tak ada yang mengawasi. Kondisi tersebut hanya menempatkan petani sawit perseorangan sebagai obyek semata. Tak ada pihak yang mendampingi petani. Tak ada pihak yang berusaha berpihak kepada petani, untuk sekadar menaikkan posisi tawar petani, demi kesejahteraan mereka. Ini tentu menyedihkan, di tengah dominasi industri sawit yang dikuasai para konglomerasi, yang selama ini menguasai bumi Kalimantan.
Petani pada akhirnya memang harus berjuang sendiri. Berjuang dengan sesama petani, yang senasib sepenanggungan. Penguasa lebih berpihak kepada pengusaha. Institusi keuangan pun condong ke kalangan industri. Maka, pada saat penguasa berkaok-kaok tentang ekonomi kerakyatan, 2.800 petani sawit di Kalimantan Selatan ini menunjukkan jati diri mereka. Spirit petani sawit ini patut diapresiasi dan menjadi inspirasi dari para petani lain di tanah air.
Mereka kini memiliki pabrik CPO, yang mereka bangun secara swadaya sejak Februari 2013 dan sudah diresmikan April 2015. Apa yang dilakukan para petani sawit perseorangan di Kalimantan Selatan ini, adalah wujud dari ekonomi rakyat yang sesungguhnya. Rakyat berinisiatif, rakyat bergerak, dan rakyat berbuat. Mereka tentulah bukan hendak melawan industri, karena mereka tak memiliki cukup power untuk menghadapi para konglomerasi sawit tersebut. Mereka berjuang untuk mekanisme pasar yang berkeadilan, karena tidak ada pihak yang memperjuangkan nasib mereka.