Industri pengolahan ikan yang berorientasi ekspor, termasuk salah satu industri yang tumbuh di saat pelemahan nilai tukar rupiah. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyiapkan insentif pajak untuk pendirian pabrik pengolahan ikan. Investasi asing terkait pengolahan ikan dibuka lebar, dengan kepemilikan saham lebih dari 50 persen. Ini bagian dari upaya peningkatan industrialisasi dan hilirisasi sumber daya laut Indonesia. Foto: litbang.kkp.go.id dan print.kompas.com
Di kurs tengah Bank Indonesia, nilai tukar rupiah Rp 13.998 per dollar AS. Di pasar spot, pada Senin (24/8/2015) pukul 19.05 WIB, nilai rupiah menembus level 14.050 per dollar AS[1]. Di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, pada Selasa (25/8/2015), Presiden Joko Widodo mengingatkan, agar masyarakat Indonesia tidak pesimistis[2].
Kenapa? Karena, kata Joko Widodo, pemerintah masih memiliki anggaran yang cukup untuk membangkitkan perekonomian dalam negeri. Rinciannya, APBN masih Rp 460 triliun, APBD Rp 273 triliun, dan BUMN masih punya Rp 130 triliun. Meski demikian, kalangan dunia usaha tetap masih galau. Salah satu indikatornya, sebagaimana dituturkan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Erwin Rijanto, pada Jumat (21/8/2015), ada 30 persen dari plafon kredit yang sudah disetujui bank, tapi belum dicairkan oleh pelaku usaha[3]. Artinya, para pebisnis menunda untuk berekspansi. Masyarakat juga galau. Salah satu indikatornya, dengan ramainya orang menyerbu money changer.[4] Mereka menjual dan atau membeli dollar Amerika Serikat (AS). Pada Selasa (25/8/2015) sore, harga jual dollar rata-rata Rp 14.100, sedangkan harga belinya, Rp 14.200.
Industri Perikanan dengan Ketekunan
Optimistis memang tidak bisa tumbuh dalam sekejap. Sebaliknya, pesimistis bisa menyebar tiba-tiba dan meruyak dengan seketika. Begitu juga dengan tabiat pengusaha dan masyarakat, yang cenderung memanfaatkan pelemahan rupiah untuk menangguk untung dengan cepat. Dalam konteks usaha, pada Rabu l 26 Agustus 2015 | 12:21 WIB, kompas.com melansir berita Rupiah Melemah, Industri Perikanan Memanen Untung. Terutama, perusahaan yang berorientasi ekspor[5]. Sepintas, akan terkesan bahwa industri perikanan yang dimaksud dalam berita tersebut adalah industri yang meraup laba tiba-tiba, karena pelemahan rupiah. Padahal, bila disusuri lebih jauh, tidak demikian halnya.
Perusahaan yang dimaksud dalam berita itu adalah perusahaan multinasional Indonesia, yang memproduksi berbagai produk makanan laut, dengan ikan sebagai bahan baku utama. Perusahaan perikanan itu didirikan pada 2 Oktober 1973 dan memulai kegiatan usaha komersialnya sejak tahun 1983. Kantor pusat dan fasilitas produksi pengolahan ikannya di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Selain itu, perusahaan yang dimaksud juga memiliki dua kantor dan fasilitas produksi pengolahan ikan di Kendari, Sulawesi Tenggara, dan di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Artinya, jauh sebelum Joko Widodo menggelorakan spirit kemaritiman, mereka sudah menekuni bidang usaha maritim[6]. Jauh sebelum Joko Widodo mendorong dunia usaha untuk melakukan industrialisasi dan hilirisasi produk perikanan, mereka sudah sungguh-sungguh menekuninya[7]. Bahkan, jauh sebelum Joko Widodo memotivasi dunia usaha untuk mengembangkan aktivitas usaha ke wilayah Indonesia bagian Timur[8], mereka sudah mengeksekusinya dengan cermat, di Kendari dan Kupang.
Barangkali, usaha yang seperti inilah yang patut kita apresiasi, di tengah banyak pelaku usaha yang galau dan di antara masyarakat yang juga galau. Ketekunan mereka pada bidang perikanan dan kelautan, kesungguhan mereka mengelola industri pengolahan ikan menjadi produk makanan, dan mekanisme yang mereka bangun dengan ribuan nelayan. Mereka memberikan bantuan teknis dan keuangan untuk konstruksi kapal nelayan, menyediakan kotak pendingin untuk menjaga kesegaran hasil tangkapan, dan mereka membuat kesepakatan harga ikan dengan nelayan[9].
Ketekunan Menciptakan Keuntungan
Menjalin kerjasama dengan ribuan nelayan, agar pasokan ikan terjaga untuk industri pengolahan, tentulah tidak mungkin dibangun dalam semalam. Apa yang mereka rumuskan sejak 2 Oktober 1973[10], kemudian melakoninya dengan ketekunan serta kesungguhan, telah menjadikan mereka sebagai salah satu perusahaan multinasional perikanan-kelautan kelas dunia. Ketika kini mereka membukukan penjualan 1.848 ton produk makanan dari ikan atau senilai Rp 136,54 miliar, tentulah hasil dari jerih-payah ketekunan selama puluhan tahun di sektor maritim.