Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Rachmat Gobel Profesional? Mafia Beras vs Hukum Ekonomi

24 Februari 2015   01:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:38 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_352652" align="aligncenter" width="573" caption="Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel (kanan), bersama Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) AA Gede Ngurah Puspayoga (kiri), melayani warga saat penjualan beras murah dari pemerintah, dalam operasi pasar di Rusun Penjaringan, Jakarta, 22 Februari 2015. Untuk jangka pendek, mungkin langkah ini efektif. Tapi, untuk menstabilkan harga beras, dibutuhkan langkah yang lebih profesional. Foto kanan, petikan tentang gejolak harga beras. Foto: kompas.com dan tempo.co"][/caption]

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, menuding ada permainan mafia di balik melonjaknya harga beras hingga 30 persen. Sebagai menteri profesional, Gobel harus membuktikan tudingannya dengan data yang komprehensif. Agar rakyat cerdas, agar rakyat tidak dipermainkan oleh para pedagang.

Yang lebih penting lagi, agar Rachmat Gobel sebagai menteri perdagangan, benar-benar berdaulat di sektor perdagangan. Artinya, kebijakannya bisa dieksekusi di lapangan dan mencapai target yang sudah ditetapkan. Pada saat eksekusi itulah kebijakan Rachmat Gobel diuji, apakah mencapai sasaran atau tidak. Hal itu bisa menjadi bahan evaluasi untuk berbagai kebijakan berikutnya.

Operasi Pasar Tak Menjamin

Kebijakan Operasi Pasar, ternyata bukan jurus yang ampuh untuk mengendalikan harga beras. Ini terbukti di lapangan. Sejak Desember 2014 hingga Januari 2015, Bulog sudah menggelar Operasi Pasar dengan menggelontorkan 75 ribu ton beras kepada pengelola Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur, PT Food Station, dengan harga gudang Rp 6.800. Seharusnya, kata Rachmat Gobel, pedagang menjual kepada konsumen dengan harga Rp 7.400 per kilogram. Namun nyatanya, tidak ada pedagang yang menjual beras dengan harga segitu.

Contohnya, untuk beras paling murah (IR2), harganya di tingkat konsumen melonjak dari Rp 8.500 jadi Rp 11.000 per kilogram. Rata-rata harga melonjak hingga 30 persen, bahkan sampai 40 persen. (sumber). Pertanyaannya, atas dasar apa Rachmat Gobel memproyeksikan harga Rp 7.400 per kilogram di tingkat konsumen? Logika ekonomi macam apa yang digunakan Rachmat Gobel? Sebagai menteri profesional, parameter sebuah kebijakan, tentulah harus terukur dan bisa diukur.

Dengan realitas di lapangan yang hasilnya bertolak-belakang dengan proyeksi yang ditetapkan, kebijakan Rachmat Gobel tersebut setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, lemahnya kualitas data yang digunakan sebagai dasar perhitungan, untuk menetapkan proyeksi harga beras Rp 7.400 per kilogram di tingkat konsumen. Bisa juga sebaliknya, data yang digunakan kuat tapi kemampuan menganalisis data tersebut yang lemah.

Kedua, lemahnya pemahaman akan dinamika perdagangan beras di lapangan. Harap diingat, beras adalah kebutuhan pokok rakyat, bahkan mungkin tingkat eksistensinya melebihi bahan bakar minyak (BBM). Dengan demikian, perdagangan beras tentulah sangat dinamis. Boleh jadi, sejumlah indikator yang relevan dengan fluktuasi harga beras, tidak dipahami dengan sungguh-sungguh oleh tim kerja pimpinan Rachmat Gobel tersebut.

[caption id="attachment_352653" align="aligncenter" width="632" caption="Masyarakat antre membeli beras di operasi pasar. Dalam operasi tersebut, pemerintah menyiapkan beras premium dan medium sebanyak 5 ton. Beras premium dihargai Rp 9.000 per kg, sedangkan beras medium Rp 7.400 per kg. Pemerintah RI menargetkan pencapaian swasembada pangan yaitu padi, jagung, kedelai, gula, dan daging dalam periode tiga hingga empat tahun ke depan. Dengan demikian, Kementerian Pertanian dapat tambahan anggaran sebesar Rp 16,9 triliun dalam APBN-P 2015. Foto: kompas.com dan tempo.co"]

14246913781360743225
14246913781360743225
[/caption]

Tudingan Mafia Tanpa Logika

Tudingan Rachmat Gobel bahwa melonjaknya harga beras hingga 30 persen karena ada permainan mafia beras, ternyata tidak didukung oleh data yang kuat. Ini terbukti di lapangan. Ketua Dewan Perwakilan Daerah Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) DKI Jakarta, Nelly Soekidi, pada Ahad, 22 Februari 2015, menjelaskan dengan data yang komprehensif.

Menurut Nelly Soekidi, hingga 19 Februari 2015, rata-rata pasokan beras ke Pasar Induk Cipinang hanya 1.533 ton per hari. Jumlah itu turun cukup signifikan dibanding pasokan pada bulan lalu yang mencapai 2.819 ton per hari. Begitu juga bila dibandingkan dengan pasokan pada Februari tahun 2014, yang mencapai 1.918 ton per hari. Artinya, pasokan beras bulan Februari 2015 turun 20,07 persen.

Dalam konteks profesional, kebijakan Rachmat Gobel menurunkan pasokan beras secara signifikan ke Pasar Induk Cipinang, itulah yang seharusnya dicermati terlebih dahulu. Apa sebabnya dan apa alasannya? Kalau tujuannya untuk menyenangkan rakyat agar konsumen membeli beras dengan harga Rp 7.400 per kilogram, sudah terbukti tidak tercapai. Karena nyatanya, harga beras paling murah (IR2), di tingkat konsumen harganya melonjak dari Rp 8.500 menjadi Rp 11.000 per kilogram.

Kalau tujuannya untuk menstabilkan harga beras di tingkat konsumen, dengan mengalihkan pasokan dari Pasar Induk Cipinang ke mekanisme Operasi Pasar, terbukti tidak tercapai. "75 ribu ton sejak Desember, kan berarti kurang dari 1.000 ton per hari. Pasokan beras di Cipinang itu normalnya 3 ribu ton per hari, sekarang kondisinya cuma 500-600 ton," tutur Nelly Soekidi dengan rinci.

Dengan kondisi yang demikian, apakah relevan Rachmat Gobel menuding lonjakan harga beras sampai 30 persen, merupakan permainan mafia beras? Bukankah lonjakan harga beras itu terjadi karena kurangnya pasokan? Bukankah lonjakan harga itu karena kebijakan yang ditetapkan Rachmat Gobel? "Lihat datanya. Kalau harga naik karena pasokan turun, itu hukum ekonomi, bukan mafia," kata Nelly Soekidi dengan tegas.

[caption id="attachment_352654" align="aligncenter" width="637" caption="PT Lumbung Padi Indonesia, dalam sehari bisa menghasilkan 30 ton beras. Nah, perusahaan Grup Gobel ini menargetkan hasil 150.000 ton gilingan padi dalam setahun. Foto kanan, hamparan sawah di Desa Penangunggan, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, yang menghasilkan 430 ton padi dan palawija di lahan seluas 156 hektar. Foto: desapenanggungan.wordpress.com"]

14246914511920545333
14246914511920545333
[/caption]

Inikah Menteri Profesional?

Mungkin terlalu dini bila kita menyimpulkan bahwa Rachmat Gobel bukan menteri yang profesional. Reputasinya sebagai pebisnis dengan bendera PT Panasonic Gobel Indonesia atau Grup Gobel, tentulah sesuatu yang tak terbantahkan bahwa Rachmat Gobel adalah seorang profesional. Memimpin serta mengendalikan bisnis dengan skala besar seperti itu, jelas bukan perkara mudah. Rachmat Gobel sudah membuktikan kapasitasnya.

Beras? Eits, jangan salah sangka. Bisnis beras bukan hal yang asing bagi Rachmat Gobel. Salah satu anak perusahaan Grup Gobel yakni PT Lumbung Padi Indonesia, merupakan perusahaan pengelola ricemill. Perusahaan tersebut fokus di bisnis penggilingan padi. Kesungguhan Grup Gobel di bisnis beras, ditandai dengan peresmian pabrik penggilingan padi di Desa Jasem, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.

Untuk menggulirkan bisnis beras tersebut, Grup Gobel menggandeng mitra bisnis lamanya, yakni Satake Corporation. "Bekerja sama dalam hal pasokan teknologi penggilingan padi yang digunakan, jadi tidak ada joint venture," kata Rachmat Gobel, Komisaris Utama Panasonic Gobel Indonesia, pada Senin, 08 September 2014. Dalam sehari, pabrik itu bisa menghasilkan 30 ton beras. Nah, Grup Gobel menargetkan bisa menghasilkan 150.000 ton gilingan padi dalam setahun.

Apakah kebijakan Rachmat Gobel sebagai menteri perdagangan, menurunkan pasokan beras secara signifikan ke Pasar Induk Cipinang, merupakan bagian dari rencana jangka panjang PT Lumbung Padi Indonesia? Tentu, bukan pada tempatnya untuk menduga-duga serta mengait-ngaitkan hal tersebut. Rachmat Gobel tentu bisa menjaga profesionalismenya sebagai pebisnis dan sebagai menteri.

Presiden Jokowi saat melantik para menterinya di Kabinet Kerja kan sudah meyakinkan publik bahwa semua menteri adalah profesional. Kalaupun ada yang dari partai, acuan utamanya adalah profesional. Lagi pula, kan banyak profesional yang berada dalam partai. Demikian pula halnya dengan menteri yang berasal dari lingkungan bisnis.

Jakarta, 23-02-2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun