Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) sekaligus Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sofyan Djalil, mengungkapkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk sapi impor, sudah dihapuskan. Kebijakan tersebut langsung dilaporkannya kepada Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Pembatalan itu disampaikan Sofyan Djalil usai bertemu Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden di Jakarta, pada Senin (25/1/2016). Foto: kontan.co.id  Â
Senin (25/1/2016), setelah bertemu Jusuf Kalla, Sofyan Djalil mengumumkan bahwa PPN sapi impor dibatalkan. Asosiasi Pedagang Daging Indonesia mengapresiasi gerak cepat pemerintah ini. Â Â Â
Untuk jangka pendek, pembatalan kebijakan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen terhadap sapi impor, cukup efektif. Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), Johny Liano, mengatakan, Apfindo telah meminta anggotanya menurunkan harga sapi yang semula dihitung PPN 10 persen. Artinya, harga sapi yang akibat PPN rata-rata Rp 46.000 per kilogram (kg) bobot hidup, diturunkan menjadi Rp 42.000 per kg bobot hidup. Setelah dibatalkan, seharusnya harga daging sapi di tingkat pengecer turun menjadi Rp 110.000 hingga Rp 120.000 per kg.
Belum Ideal Tapi Positif
Harga daging sapi Rp 120.000 per kg di tingkat konsumen tersebut, sesungguhnya belum harga yang ideal. Meski demikian, ini merupakan langkah yang positif untuk meredakan gejolak harga daging sapi di pasar. Kita tahu, tiap kali ada aturan baru, para pelaku yang terkait dengan perdagangan sapi, berada dalam situasi ketidakpastian. Situasi yang demikian juga berlaku di berbagai sektor perdagangan lain. Nah, di tengah ketidakpastian itulah muncul sejumlah spekulan, yang memanfaatkan momentum untuk menangguk untung di luar batas kewajaran.
Karena itulah, pihak berwenang sepatutnya mengantisipasi potensi gejolak yang akan timbul, tiap kali membuat kebijakan. Membiarkan pasar bergejolak secara liar, sebagaimana pada penerapan PPN 10 persen pada sapi impor tersebut, tentulah bukan sikap yang bijak. Kenapa? Karena, jumlah masyarakat yang dirugikan, jauh lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang diuntungkan. Para pedagang makanan skala kecil -misalnya- memilih tidak berjualan, karena terbatasnya kemampuan mereka untuk menjangkau risiko akibat mahalnya harga daging sapi.
Mereka ini pada dasarnya tidak minta diistimewakan. Tapi, pihak berwenang sudah sepatutnya menjadikan pedagang makanan skala kecil tersebut sebagai segmen masyarakat yang dipertimbangkan, dalam konteks kebijakan pangan. Bagaimanapun juga, mereka telah turut menggerakkan roda perekonomian melalui sektor informal. Karena keterbatasan pengetahuan serta keterbatasan permodalan, mereka dengan mudah dan cepat terjungkal. Bagi mereka, untuk bangkit bukanlah hal yang mudah.Â
Dalam konteks kebijakan daging sapi, ada sebuah kajian yang juga patut dipertimbangkan pihak berwenang dalam menerapkan kebijakan. Ini hasil kajian Indonesia Riset Strategi Analisis, yang dilakukan pada tahun 2009. Riset tersebut menemukan, daging sapi memiliki keterkaitan dengan 120 sektor ekonomi ke hulu maupun ke hilir. Selain itu, daging sapi memiliki daya ungkit pengganda secara ekonomi tertinggi, dibanding 175 sektor lain. Artinya, pihak berwenang semestinya mempertimbangkan secara lebih cermat kebijakan yang terkait dengan daging sapi, mengingat implikasi luas yang ditimbulkannya.
Harga Ideal Daging Sapi
Berapa sebetulnya harga ideal daging sapi per kilogram? Asnawi selaku Ketua Umum Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) mengemukakan kepada Kompas pada Minggu (24/1/2016), harga daging sapi idealnya Rp 95.000 per kg di tingkat konsumen. Untuk mencapai harga tersebut, tentulah tidak mudah. Karena, pasar daging dalam negeri sangat tergantung pada impor sapi dari Australia. Sebagaimana halnya transaksi impor, faktor nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, turut menentukan. Asnawi memperkirakan, harga daging sapi baru bisa di bawah Rp 100.000 per kg, jika nilai tukar rupiah terhadap dollar berada di level Rp 11.000.