Kabel yang ruwet dan simpang-siur ini menjadi cermin keruwetan Jakarta. Di tiang penyangga itu, beragam kabel berjejalan, tumpang-tindih, sebagaimana tumpang-tindihnya birokrasi di ibukota negara ini. Jika suatu hari billboard itu rubuh, kemudian menimpa tiang dengan jejalan kabel itu, keruwetan bukan berkurang, malah bertambah dengan keruwetan baru. Foto: koleksi pribadi
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Menyambut HUT ke-488 DKI Jakarta pada tanggal 22 Juni 2015, tak ada salahnya diadakan Lomba Foto Kabel Ruwet. Pemenangnya tentulah foto yang menggambarkan keruwetan kabel yang paling ruwet. 10 atau 20 foto yang masuk nominasi, dicetak lalu dijadikan kartu pos untuk konsumsi turis, dengan tagline keren: The Art of Jakarta.
DKI Jakarta barangkali patut dapat award sebagai kota dengan seni instalasi kabel terbanyak di dunia. Sesekali, tataplah tiang-tiang yang berjajar di sepanjang jalanan Jakarta. Mungkin tak perlu mencari-cari atau mengadakan survey lapangan, kalau untuk mendapatkan objek foto berupa kebel ruwet seperti di atas. Ada banyak objek, ada banyak pilihan, juga ... tentu saja banyak keruwetan. Abadikan saja dengan smartphone, mana tahu ada Lomba Foto Kabel Ruwet.
Menjuntai dan Berseliweran
Melihat kabel-kabel di tiang itu, sepertinya itu bukanlah milik perorangan. Bukan milik pedagang pecel lele, juga bukan punya penjaja cilok. Kenapa demikian? Karena, untuk mencantelkan kabel-kabel itu di tiang penyangga, bukanlah perkara mudah. Hanya para teknisi yang memiliki skill tertentulah yang mampu melakukannya. Selain itu, kabel-kabel tersebut tak bisa dibilang murah harganya. Artinya, secara harga, tak kan terjangkau oleh pedagang pecel lele serta penjaja cilok.
Kalau untuk menjangkau kabel itu secara fisik sih bisa saja. Toh, ada banyak kabel yang menjuntai, bergelayutan, bahkan di sejumlah tempat, menggelantung lebih rendah dari ukuran tinggi orang normal. Apakah seliweran kabel itu membahayakan pejalan kaki atau pengendara? Tergantung siapa yang menjawab dan siapa yang mau menjawab. Kenapa? Karena, gulungan kabel ruwet seperti itu ada di mana-mana, di seantero wilayah DKI Jakarta.
Artinya, hampir semua pegawai Pemda DKI Jakarta, sekali dalam hidupnya, pasti pernah melihat gulungan kabel ruwet tersebut. Baik yang bertugas di kelurahan, di kecamatan, di kantor walikota, juga yang sehari-hari ngantor di balai kota. Toh, sikap mereka sama dan seragam: tak peduli. Urusan mereka sangat banyak, mereka sangat sibuk, yang semuanya jauh lebih penting dari sekadar ngurusin kabel. Jadi, mereka pun ogah menjawab pertanyaan di atas.
Kabel-kabel itu melintasi pepohonan. Tiang penyangga menyelinap di antara dahan dan ranting. Sebuah kolaborasi antara teknologi dan spirit green city. Jika suatu hari pohon itu rubuh, entah bagaimana nasib para kabel yang berjejalan tersebut. Entah bagaimana pula nasib pejalan kaki dan pengendara yang tengah melintas di bawahnya. Maklumlah, belakangan ini angin kencang sering melanda DKI Jakarta dan telah menumbangkan banyak pohon, juga meremukkan kendaraan di sekitarnya. Foto: koleksi pribadi
Kabel Kembali ke Kabel
Karena kabel-kabel itu bukan milik perseorangan, maka besar kemungkinan kabel itu milik perusahaan. Kumpeni eh company, bahasa kerennya. Boleh jadi, sebagian kabel milik perusahaan pemerintah, sebagian lagi milik swasta. Adakah kabel yang tak jelas pemiliknya? Adakah kabel liar yang nyantol tanpa sepengetahuan Pemda DKI Jakarta? Para pegawai Pemda DKI Jakarta, kalau birokrasinya tidak seruwet kabel-kabel tersebut, tentu bisa menemukan kabel yang mana dan milik perusahaan apa.
Mestinya sih, sebelum kabel-kabel itu dipasang, ada mekanisme izin yang menyertainya. Mestinya juga, ada aturan standar atau prosedur standar dalam pemasangan kabel. Apalagi kabel-kabel itu kan dipasang di tempat umum, area yang dilintasi orang banyak. Masak sih aspek kekuatan dan keamanan tidak diperhitungkan. Masak sih unsur kelayakan dan ketidaklayakan, tidak dipertimbangkan. Tapi, ya tahu sendiri deh Pemda DKI Jakarta: aturan tinggal aturan.
Nanti, kalau ada kabel yang putus, kemudian membelit serta mencelakakan pengguna jalan, baru deh main salah-salahan. Dinas ini menyalahkan dinas itu. Pejabat ini menyalahkan pejabat itu. Ada juga sih yang main petak umpet, kayak mainan bocah di gang-gang sempit Jakarta. Apakah kehebohan itu menyelesaikan masalah? Tidak juga. Kabel kembali ke kabel. Ruwet kembali ke ruwet. Itulah model birokrasi di Pemda DKI Jakarta, yang ruwetnya melebihi keruwetan kabel-kabel tersebut.
Ini parade kabel namanya. Tiang penyangga yang dijadikan tumpuan tidak sebanding dengan beban kabel yang menggelayutinya. Parade kabel ini menjadi salah satu view tamu hotel, yang bangunannya menjulang di belakang. Parade kabel ini juga salah satu daya pikat DKI Jakarta sebagai destinasi wisata. Bila tiang mungil itu meleot karena keberatan beban kabel, itu akan menjadi tontonan yang menarik bagi pengunjung ibukota negara ini. Foto: koleksi pribadi
Ada Ketidakmudahan, Ada Keberuntungan
Secara kasat mata, di jalanan Jakarta ada tiang listrik dan tiang telepon. Ada juga tiang-tiang penyangga papan iklan. Apa pun tiangnya, toh ia menancap di wilayah administrasi DKI Jakarta. Dengan struktur pemerintahan dari tingkat kelurahan, kecamatan, walikota, hingga balai kota, apa pun tiang yang akan ditancapkan, tentulah sepengetahuan Pemda DKI Jakarta. Karena, Pemda yang memiliki otoritas wilayah geografis.
Bahwa di DKI Jakarta ada Pemerintah Pusat, itu realitas yang tak terelakkan. Ada benturan serta gesekan dengan Pemerintah Pusat terkait sejumlah kebijakan, itu adalah bagian dari proses kepemimpinan di Pemda DKI Jakarta. Tentu saja ada sejumlah ketidakmudahan. Sebaliknya, ada cukup banyak keberuntungan serta kemudahan yang dimiliki Pemda DKI Jakarta dengan cuma-cuma, karena di wilayah ini bercokol Pemerintah Pusat.
Salah satu contohnya, secara struktur pemerintahan, hanya di DKI Jakarta, seorang gubernur bisa mencopot serta mengangkat walikota. Kalau di DKI Jakarta tidak ada Pemerintah Pusat, gubernur di wilayah DKI Jakarta, tidak punya kuasa untuk mengutak-atik walikota. Kenapa? Karena, walikota di provinsi lain, dipilih secara langsung. Bukan dipilih gubernur. Sebaliknya, di DKI Jakarta, kekuasaan walikota berada di bawah otoritas gubernur.
Dalam konteks hirarki, seorang gubernur di DKI Jakarta, memiliki porsi kekuasaan yang direct, dengan satu garis komando dari balai kota hingga ke tingkat kelurahan. Tidak ada gubernur di provinsi lain di Indonesia yang memiliki garis komando yang demikian direct-nya. Artinya, apa pun tiang yang akan ditancapkan, tentulah sepengetahuan Pemda DKI Jakarta. Demikian pula dengan pemasangan kabel serta keruwetan kabel-kabel di atas. Kecuali, kalau tidak mau tahu dan tidak peduli.
Jakarta, 31 Mei 2015
* foto-foto di atas diabadikan saat melintas di Jl. Kapten Tendean, Jakarta Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H