[caption caption="Ratusan nelayan yang memasuki Pulau G Reklamasi pada Minggu (17/4/2016), mendapat penjagaan ketat dari 30 anggota pasukan keamanan dari Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan dari Agung Podomoro Land. Tim investigasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Jumat dan Sabtu (15-16/4/2016) telah menyelidiki proses pelaksanaan reklamasi di Teluk Jakarta. Hasil investigasi itu sedang diproses kementerian tersebut. Foto: kompas.com"][/caption]Minggu (17/4/2016) ratusan nelayan memasuki Pulau G Reklamasi di Teluk Jakarta. Mereka berangkat dari Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara, pukul 09.00 WIB dan tiba di Pulau G Reklamasi 30 menit kemudian. Suara-suara tolak reklamasi pun terdengar. Benarkah mereka Nelayan Jakarta?
Ini pertanyaan penting untuk dijawab. Kenapa? Karena, yang dimaksud dengan Nelayan Jakarta, tentulah para nelayan yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Mereka inilah yang pertama paling relevan untuk bersuara tentang pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Bahasa kerennya, para nelayan adalah stakeholders kawasan pesisir Jakarta. Sumber kehidupan mereka ya di laut Jakarta. Kita tahu, berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227 Tahun 1989, luas wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah 7.659,02 kilometer persegi. Rinciannya, daratan seluas 661,52 kilometer persegi, termasuk daratan 110 pulau di Kepulauan Seribu. Total lautan DKI Jakarta, mencapai 6.997,50 kilometer persegi. Di sebelah utara Jakarta, membentang garis pantai sepanjang 35 kilometer, yang menjadi muara 13 sungai serta 2 buah kanal.
Jakarta 90 Persen Lautan
Dari 7.659,02 kilometer persegi luas DKI Jakarta, daratan hanya seluas 661,52 kilometer persegi saja. Ya, sekitar 10 persen. Maka, provinsi yang menjadi ibu negara republik ini sesungguhnya adalah provinsi lautan. Tapi, kita tidak menemukan tugu nelayan yang prestisius di provinsi ini. Kita juga tidak menemukan monumen nelayan yang megah di ibu negara ini. Bandingkan dengan Tugu Perahu Phinisi yang berada di jantung Kota Bulukumba, Jl. Jenderal Sudirman, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Perahu yang terbuat dari kayu itu memiliki 2 tiang layar utama dan 7 helai layar lainnya. Tugu ini melambangkan bahwa sebagian besar masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut adalah pelaut, dengan mengandalkan laut dan hasil laut sebagai salah satu sumber utama kehidupan.
Bandingkan pula dengan Tugu Nelayan di Muara Teweh, Barito Utara, Kalimantan Tengah. Muara Teweh adalah salah satu kota di pinggir Sungai Barito bagian hulu. Tugu yang menampilkan seorang nelayan yang sedang menjala ikan itu berada di Jl. Jenderal Sudirman kota itu, yang tempat tersebut dikenal sebagai bundaran nelayan. Tugu Nelayan itu menjadi penanda bahwa sebagian besar warga kota Muara Teweh menjalani profesi sebagai nelayan, sebagai penangkap ikan. Mereka menjala ikan saluang yang hidup di pesisir aliran Sungai Barito. Ikan saluang adalah jenis ikan air tawar, ukurannya kecil seperti ikan teri. Dalam bahasa Latin, ikan itu bernama rasbora.
[caption caption="Sidang gugatan terkait proyek reklamasi Pulau G di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Cakung, Jakarta Timur, pada Kamis (3/12/2015). Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), yang mewakili nelayan di Jakarta, mengajukan bukti ke persidangan mengenai dampak reklamasi terhadap kehidupan nelayan. Martin Hadiwinata, Kepala Bidang Pengembang Hukum dan Pembelaan Nelayan KNTI, mengatakan, sedang menyusun rincian terkait dengan kerugian masyarakat atau penggugat, dan bukti dampak kerusakan akibat reklamasi. Foto: kompas.com"]
Garis putih bergelombang yang menjadi perlambang gelombang di lautan, sekaligus menjadi penanda laut yang bersih, bebas dari pencemaran. Kini, perairan laut Jakarta sudah tidak bersih lagi. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, menceritakan, Teluk Jakarta sejak tahun 1980-an sudah terkontaminasi logam berat. Air sungai dari 13 sungai yang mengaliri wilayah Jakarta dan bermuara ke Teluk Jakarta, praktis sudah tidak memenuhi standar untuk dijadikan bahan baku air bersih. Artinya, pencemaran air sungai, juga pencemaran air laut, sudah melewati ambang batas. Basuki Tjahaja Purnama menceritakan kondisi tersebut di Balai Kota, pada Kamis (7/4/2016).
Mulai dengan Percontohan
Proyek 17 Pulau Reklamasi di Teluk Jakarta turut melipatgandakan pencemaran air laut. Dan, ini berimbas pada kehidupan nelayan yang menggantungkan hidup mereka dari menangkap ikan di perairan Jakarta. Sebagian dari mereka barangkali bergabung ke dalam ratusan nelayan yang memasuki Pulau G Reklamasi di Teluk Jakarta pada Minggu (17/4/2016) tersebut. Rudi Hartono, salah seorang nelayan tradisional di Muara Angke, Jakarta Utara, bercerita, air laut yang semakin keruh oleh pasir dan material pembangunan pulau reklamasi, telah membuat ikan-ikan menjauh ke tengah laut. Ia membandingkan, dulu lewat sedikit dari pulau reklamasi itu, nelayan sudah bisa dapat ikan.
[caption caption="Lambang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dirancang oleh Hendrik Hermanus Joel Ngantung, dikenal dengan nama Henk Ngantung. Ia adalah seorang pelukis otodidak berbakat. Atas keinginan Presiden Soekarno, Henk Ngantung diminta untuk menjabat sebagai Wakil Gubernur, selanjutnya sebagai Gubernur DKI Jakarta, periode 27 Agustus 1964 hingga 15 Juli 1965. Ia lahir 1 Maret 1921 dan meninggal di Jakarta, 12 Desember 1991. Foto: ariesaksono.wordpress.com "]
Pendudukan Pulau G Reklamasi di Teluk Jakarta pada Minggu (17/4/2016) tersebut, sejak dini harus dicegah, sebelum meluas menjadi tindakan yang anarkis. Pulau G Reklamasi digarap oleh Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan Agung Podomoro Land. Kenapa harus dicegah? Karena, cara-cara yang demikian, bisa merusak kepercayaan investor, bisa merusak iklim investasi. Apalagi yang bekerja di Pulau G Reklamasi sebagian adalah juga warga yang bermukim di Muara Angke. Alangkah tidak patutnya nelayan Muara Angke sampai bentrok dengan warga Muara Angke yang bekerja di sana karena reklamasi. Penegakan aturan yang berlaku adalah salah satu cara untuk mencegah meluasnya konflik terkait pulau reklamasi.