[caption id="attachment_293584" align="aligncenter" width="610" caption="Luwak asyik memamah biji kopi. Ia hanya memakan buah kopi yang masak optimal. Biji kopi yang benar-benar sudah matang. Petani kopi Kintamani mengelolanya secara kreatif menjadi konsep agrowisata. Foto: AFP dari english.kompas.com"][/caption] Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Di tangan petani kopi Kintamani, kopi bukan hanya sebatas rasa. Komoditas pertanian itu tak lagi berdiri sendiri, tapi mereka secara kreatif menyatukan kopi dalam nilai kekerabatan Bali. Agaknya, kreativitas-kekerabatan inilah yang membedakan mereka dengan petani kopi lain di tanah air.
Darah seni mengalir di seluruh nadi orang Bali. Meski tak semua jadi pelukis, meski tak seluruhnya jadi pemahat, toh nyaris tak ada orang Bali yang tak pandai menari. Karena itulah, seorang petani kopi sesungguhnya adalah juga seorang penari. Dan, sebagai penari, kreativitas telah menjadi bagian dari keseharian mereka. Demikian pula halnya dengan sensitivitas. Dengan balutan nafas seni Bali, semua menyatu, semua terimplementasi di tiap profesi yang mereka tekuni. Itulah yang nampak serta terasa kental saat menghastai jalan, menyusuri perkebunan kopi di sepanjang jalan Kintamani.
Kopi Sepanjang Kintamani
Boleh dibilang, perbukitan Kintamani penuh dengan kebun kopi. Setidaknya, sepanjang jalur wisata yang membentang antara Tampaksiring hingga Singaraja, ada sekitar 15.000 hektar lahan yang ditanami kopi. Kawasan yang rimbun, hijau, serta berudara sejuk tersebut kerap dinamai wisatawan asing sebagai the golden trip. Pesona alamnya benar-benar menakjubkan. Bukit, lembah, dan danau silih berganti menampilkan keindahannya.
Perbukitan ini berada di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut. Jarak dari Pantai Kuta di Denpasar ke Kintamani sekitar 71 kilometer dan biasanya dapat ditempuh sekitar 2-3 jam perjalanan dengan kendaraan. Mengingat pesona alam yang indah sejak dari Tampaksiring, maka sangat bisa dipahami, kenapa Istana Kepresidenan Tampaksiring dibangun di kawasan tersebut. Istana ini mulai dibangun tahun 1957 hingga tahun 1960 atas prakarsa Presiden Soekarno. Bisa dikatakan, Istana Kepresidenan Tampaksiring merupakan satu-satunya istana yang dibangun pada masa pemerintahan Indonesia.
Di kawasan yang demikianlah Kopi Arabika Kintamani tumbuh dengan suburnya. Bila menengok ke belakang, perbukitan Kintamani sudah dikenal sejak lama sebagai daerah penghasil kopi unggul. Tapi, ketika Gunung Batur meletus pada September 1963 hingga Mei 1964, sebagian besar kebun kopi ini rusak. Maklum, Gunung Batur yang berada di tepian Danau Batur, relatif berdekatan dengan perbukitan Kintamani. Akibatnya, tanah serta abu vulkanik letusan gunung tersebut, sebagian menyembur hingga perbukitan Kintamani.
Namun, sebagaimana galibnya, di balik musibah, senantiasa ada berkah. Tanah serta abu vulkanik dari letusan Gunung Batur yang sebelumnya merusak kebun kopi di perbukitan Kintamani, justru menjadi penyubur yang sangat menguntungkan di tahun-tahun berikutnya. Diduga, karena tumbuh di tanah vulkanik, kopi Kintamani memiliki aroma kecokelatan yang kuat dengan citarasa manis.
Yang juga turut menyempurnakan kekhasan rasa kopi Kintamani adalah rasa asam jeruk, karena di sekujur perbukitan tersebut juga membentang luas kebun Jeruk Bali, yang tak kalah legendarisnya dalam mengharumkan Pulau Dewata ini. Karakteristik rasa asam pada kopi Kintamani, bukan melemahkan, tapi justru menguatkan kekhasannya.
Jangan Takut Rasa Asam Kopi
Sumber: tempo.co, Rabu, 05 Juni 2013 | 05:07 WIB
Bagi pecinta kopi, karakteristik rasa kopi memang digilai untuk menikmati sensasinya. Begitu juga rasa asam yang keluar pada jenis kopi tertentu, misalnya Kopi Kintamani asal Bali ataupun Kopi Gayo dari Aceh. Menurut konsultan kopi, Adi W Taroepratjeka, rasa asam kopi justru menunjukkan kualitas kopi sehingga beberapa jenis kopi itu harganya mahal.
"Di asamnya kopi itu menjadi ciri khas kopi di beberapa daerah dan itu yang membuat harga kopi itu lebih mahal. Jadi, kalau nemu kopi yang agak asam, jangan takut, misalnya Kopi Kintamani cenderung asam, asamnya pun kalau kita deskripsikan ada yang kayak buah jeruk, jeruk lemon, cheri. Itu seger di mulut," kata pria yang juga seorang barista ini kala ditemui di Senayan City, Jakarta pada Selasa, 4 Juni 2013.
Tak Hanya Sebatas Rasa
Sebagaimana saya sebutkan di atas, di tangan petani kopi Kintamani, kopi tak hanya sebatas rasa. Ada kreativitas, sensitivitas, serta nilai kekerabatan yang lebur bersama seni Bali, yang menyertainya. Di sekitar 15.000 hektar lahan yang ditanami kopi itu, misalnya. Di sana, di alam bebas, hidup puluhan, bahkan ratusan ekor luwak, yang memang sehari-harinya getol makan kopi, langsung dari pohonnya.
Luwak atau musang, paradoxurus hermaphroditus, adalah hewan berkaki empat dengan moncong agak menjulur ke depan. Biji kopi yang dimakan luwak tetap utuh sebagai biji kopi. Ia hanya menelannya tanpa mengunyahnya. Itu diketahui petani setelah melihat biji kopi yang keluar dari perut luwak bersama kotorannya. Petani kopi memang kerap menemukan kotoran luwak berserakan di kebun kopi.
Kotoran luwak ini kemudian dikumpulkan petani, lalu biji-biji kopi yang ada dalam kotoran itu dibersihkan hingga benar-benar bersih. Biji kopi yang sudah bersih itu kemudian dijemur, lalu diproses menjadi kopi bubuk. Inilah yang kemudian dinamai petani sebagai Kopi Luwak Liar. Kopi inilah yang menempati urutan tertinggi dalam kategori Kopi Luwak. Meski, sesungguhnya, ada lagi yang lebih spesifik yaitu Kopi Luwak Lanang, yang akan saya tulis di tulisan lain.
Berkaitan dengan Kopi Luwak Liar tersebut, I Wayan Jamin, petani kopi Kintamani, mengolaborasikan kreativitas, sensitivitas, serta sistem nilai kekerabatan orang Bali. Jamin mengajak warga desa di Subak Sukamaju, Kintamani, serta kelompok petani kopi setempat untuk bekerja bersama-sama mengumpulkan biji kopi yang berasal dari kotoran luwak liar dari hutan wisata Kintamani yang luasnya mencapai 150 hektar itu.
Untuk satu kilogram biji kopi luwak liar yang masih basah, Jamin membayar Rp 100.000. Kini, mungkin angka itu sudah di atas Rp 100.000, mengingat inflasi serta kenaikan harga barang dan jasa. Kepada warga pemungut biji kopi luwak liar itu, Jamin hanya membayarkan separuhnya. Anggaplah, Rp 50.000,- cash. Sisanya, sengaja disimpan di kelompok subak.
Dengan cara ini, warga pemungut sudah menabung Rp 50.000,- untuk tiap kilogram biji kopi luwak liar yang ia dapatkan. Uang tabungan itu dikelola oleh warga subak, hingga anggota subak dan kelompok petani kopi akan tumbuh bersama-sama menikmati rezeki yang mengalir dari luwak. Ada investasi, ada kebersamaan, dan ada sistem kekerabatan yang melatarinya, demi kemajuan bersama warga.
Inilah salah satu contoh yang menggambarkan, betapa di tangan para petani kopi Kintamani, kopi tak hanya sebatas rasa. Melalui cara ini, anggota masyarakat sebagai individu, memiliki peluang untuk mendapatkan penghasilan dari alam sekitar mereka. Meski, mereka tak memiliki kebun kopi. Di sisi lain, kebersamaan serta kekerabatan mereka menjadi kian erat, karena ada dana tabungan yang dikelola subak, yang bisa dimanfaatkan anggota subak dan kelompok petani secara bersama-sama, demi kemajuan bersama.
Keberadaan kopi luwak liar ini, bukan hanya ada di Kintamani. Di berbagai sentra kopi, misalnya, di Lampung, Jambi, Sidikalang, dan Aceh, juga ada kopi luwak liar. Tapi, mekanisme kebersamaan serta sistem kekerabatan seperti di atas, agaknya hanya ada di Kintamani. Harga kopi luwak liar, tentu saja mahal, hingga memiliki nilai ekonomi tinggi. Sebagai ancer-ancer, harga kopi luwak arabika kemasan 100 gram, sekitar 30 dollar AS (sekitar Rp 350.000) dan bandingkan dengan harga kopi arabika biasa, hanya 3 dollar AS (Rp 35.000). Lalu, apa yang membuat kopi luwak menjadi demikian mahal?
Cerita tentang Kopi Luwak Lampung
Sumber: kompas.com, Minggu, 28 November 2010 | 14:41 WIB
Pernah mencicipi minum kopi luwak? Sebutan kopi luwak ini begitu istimewa, karena kekhasan proses, kelangkaan, dan citarasa yang unik, yang tidak ditemui dalam kopi jenis lainnya. Kopi luwak memiliki rasa seimbang antara manis, pahit, dan asam, terasa lebih lama, "fruty", tidak cacat, tidak "earthy" karena penjaminan kebersihan saat pengumpulan biji kopi.
Selain itu, kandungan protein yang rendah pada kopi luwak menghasilkan citarasa yang superior. Itu terjadi karena saat proses pencernaan di perut luwak, protein tercerna dan keluar dari biji kopi. Protein pada kopi menyebabkan rasa bitter saat proses roasting. Jadi, semakin rendah kadar protein dalam kopi, semakin kurang "bitterness" kopi tersebut.
Luwak Setengah Liar
Pada awalnya, luwak ini dipandang sebagai hama, yang memamah biji kopi semaunya, dan tentu saja menggerus penghasilan petani. Naluri kehewanan luwak ini mengagumkan: ia hanya memakan buah kopiyang masak optimal. Biji kopi yang benar-benar sudah matang. Dan, sang luwak dengan lincahnya, mampu memanjat batang serta menjalari dahan serta ranting kopi hingga ke ujung-ujungnya.
Tapi, setelah orang menyadari, betapa tinggi nilai ekonomi kopi luwak, hewan berkaki empat ini kemudian dijadikan mesin produksi. Caranya, luwak dikandangkan, lalu diberi makan biji kopi, kemudian biji kopi yang ada dalam kotoran luwak diproses menjadi bubuk kopi. Inilah yang kemudian disebut sebagai Kopi Luwak Tangkaran. Secara kualitas, baik fisik maupun rasa, tentu berbeda dengan Kopi Luwak Liar. Harganya pun tak setinggi harga Kopi Luwak Liar, tapi ya tetap lebih tinggi dari harga kopi non-luwak.
Mereka yang memproduksi kopi luwak tangkaran ini sempat diprotes organisasi perlindungan hewan, People for the Ethical Treatment of Animals (PETA). Menurut hasil investigasi organisasi tersebut, di desa-desa di Indonesia dan Filipina, dua negara penghasil kopi luwak terbesar di dunia, luwak diperlakukan tidak sebagaimana mestinya, ditempatkan di kandang sempit dan kotor, tapi digenjot untuk makan biji kopi seperti layaknya mesin produksi.
Namun, I Wayan Jamin, petani kopi di pelosok Desa Landih, Kintamani, tak memilih cara yang umum itu. Ia melakukan riset kecil-kecilan untuk memahami behavior sang luwak dalam menyantap kopi. Akhirnya, ia sampai pada kesimpulan bahwa perlu diciptakan suasana yang alami agar luwak leluasa menyantap biji kopi yang ia inginkan. Di sisi lain, sang luwak perlu dijaga agar tidak buang kotoran di mana-mana, agar biji kopi keluaran sang luwak tak terbuang percuma.
Jamin memiliki 2 hektar kebun kopi di Kintamani. Sebagian di antaranya, sekitar 80 are, ia pagari agar luwak tak lari ke mana-mana. Dalam area yang berpagar itu, Jamin melepas 31 ekor luwak dan tentu saja dipersilakan untuk menyantap biji kopi sepuasnya. Maka, jadilah area kebun kopi berpagar itu seperti kebun binatang mini. Luwak leluasa meloncat ke sana-ke mari, leluasa pula melahap biji kopi yang sudah matang.
Sebaliknya, Jamin juga leluasa mengumpulkan kotoran luwak yang sudah berisi biji kopi itu. Toh, hanya dalam area yang sudah berpagar. Sebuah kreativitas yang mengesankan, yang mungkin baru ada di Kintamani. Tak hanya sampai di situ. Jamin juga melakukan budidaya atas luwak ini, agar koleksi luwaknya terus bertambah. Secara reguler, Jamin memeriksa kesehatan para luwak yang sudah aktif berproduksi, agar mereka senantiasa sehat, agar kualitas kopi yang mereka hasilkan terjaga mutunya.
Bukan hanya sampai di situ. Kreativitas Jamin terus berkembang. Jamin kemudian mengolah serta mengelola area kebun kopinya yang 2 hektar tersebut menjadi arena agrowisata. Ia lengkapi infrastruktur wisatanya. Ada restoran, ada ruang pertemuan, dan ada tempat bermain anak-anak. Sebuah proses kreativitas yang senantiasa bersahabat dengan alam.
Jamin bukan hanya berkebun kopi. Ia juga bukan sekadar menjual kopi. Ia berbagi pengalaman tentang kopi, sebagai bagian dari proses kreativitas dalam hidup. Pengunjung yang datang ke sana, bisa berkesempatan menimba ilmu tentang kopi, juga merasakan terlibat langsung tahap demi tahap pemrosen kopi, hingga menyeruput nikmatnya Kopi Luwak Setengah Liar, tentunya.
Dalam skala yang lebih luas, apa yang telah dilakukan Jamin, betapa ia telah turut menambah destinasi wisata Pulau Dewata. Spirit kreativitas Jamin ini, bukan tidak mungkin bisa menjadi inspirasi untuk diterapkan di berbagai sentra kopi di tanah air tercinta ini.
Berburu Luwak sampai ke Kintamani
Sumber: kompas.com, Minggu, 18 September 2011 | 02:48 WIB
Kopi luwak liar hasil perburuan para petani, oleh Jamin kemudian dicampurkan dengan kopi luwak alami hasil kebunnya. Dalam setahun panen, ia kira-kira hanya bisa mengumpulkan 1,5 ton. Harga kopi luwak alami bercampur liar ini, di tingkat petani sudah mencapai Rp 1,5 juta per kilogram. Sebagai perbandingan, harga kopi luwak tangkaran di kisaran Kintamani hanya Rp 500.000 per kilogram. Lain lagi harga kopi luwak lanang, bisa mencapai Rp 5 juta per kilogram. ”Tetapi dari sekitar 500-800 biji kopi per pohon, hanya ada antara 5-10 biji kopi lanang,” kata Jamin.
Percobaan yang dilakukan Jamin memang kemudian menjamin kualitas rasa kopi luwak Kintamani. Berdasarkan hasil ”pencicipan” para ahli kopi internasional, yang sudah lama menjadi pengontrol kualitas kopi Kintamani, kopi luwak alami memiliki rasa yang pekat dengan tingkat keasaman yang seimbang dengan rasa kopinya. Dan, daya jual yang paling utama terhadap kopi luwak alami ini. Jamin mengatakan, kopinya bisa menyembuhkan penderita diabetes, sering lelah, dan beri-beri. ”Saya jamin dalam tiga bulan para penderita penyakit ini akan sembuh, kalau tidak, kembali ke sini dan silakan protes…,” katanya.
Jakarta 03-02-2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H