Buruh menurunkan beras impor asal Vietnam, dari Kapal Hai Phong 08, di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Menurut Menteri Perdagangan Thomas Lembong, Indonesia cenderung terlambat mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand. Karena terlambat mengimpor, harga beras impor naik dari 340 dollar AS per ton, jadi 400 dollar AS per ton. Foto: print.kompas.com
Ini salah satu potret sektor pertanian kita. Badan Pusat Statistik (BPS), sebagaimana dilansir Kompas pada Senin (28/12/2015) memperkirakan, produksi padi selama Januari-Desember 2015, hanya mencapai 11.176.917 ton. Sementara, produksi padi Januari-Desember 2014, menembus capaian 11.644.899 ton.
Ada sejumlah alasan yang bisa dikemukakan sebagai penyebab. Baik alasan teknis, maupun alasan politis. Apapun alasannya, yang jelas, eforia yang dikobarkan pemerintahan Joko Widodo tentang surplus beras dan tentang swasembada pangan, telah menjadi anti klimaks. Dengan kata lain, berbagai kebijakan pertanian yang telah dieksekusi Joko Widodo melalui Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, sudah seharusnya dievaluasi secara menyeluruh. Bukan dalam konteks menciptakan kegaduhan, tapi semata-mata untuk menegakkan kedaulatan pangan di negeri agraris ini.
Impor Beras 1.000.000 Ton
Tidak impor. Malu sama Vietnam dan Thailand. Inilah artikulasi politik yang terus disuarakan Joko Widodo, sejak musim kampanye presiden dan diteruskan setelah menjabat sebagai presiden. Para pejabat pemerintahan pun, bagai paduan suara, membantah bahwa Indonesia akan mengimpor beras. Tapi, akhirnya, seusai membuka pameran Trade Expo Indonesia (TEI) di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, pada Rabu (21/10/2015), Presiden Joko Widodo mengonfirmasi bahwa Indonesia mengimpor beras sebanyak 1.000.000 ton, dari Vietnam dan Thailand.
Hanya 15 hari kemudian, tepatnya pada Rabu (4/11/2015), sebanyak 4.800 ton beras asal Vietnam, tiba di Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Lalu, 4 hari berikutnya, pada Minggu (8/11/2015), Merauke, Provinsi Papua, berencana mendatangkan 3.000 ton beras impor dari Vietnam, karena persediaan beras sudah menipis. Dalam konteks ekspor-impor, kecil kemungkinan bahwa keputusan impor beras sebanyak 1.000.000 ton tersebut, diteken dalam hitungan hari. Artinya, kesepakatan impor beras itu, sudah ditandatangani jauh sebelumnya. Tapi, secara fisik, beras tersebut masih disimpan di Vietnam dan Thailand. Kemudian, dimasukkan ke Indonesia secara bertahap, melalui berbagai pelabuhan.
Pertanyaannya, atas dasar apa Presiden Joko Widodo menggembar-gemborkan tentang panen yang berlimpah, tentang kita surplus beras, padahal nyatanya produksi padi tahun 2015, turun 467,982 ton, dibandingkan produksi padi tahun 2014? Dalam konteks politik, barangkali inilah yang disebut sebagai artikulasi politik. Kita tahu, Joko Widodo adalah seorang politisi dari PDI Perjuangan. Pernyataan politisi dan tindak-tanduk politisi, like the weather on the mountain. Bisa hujan tiba-tiba. Bisa pula panas tiba-tiba.
Intinya, apa yang dikatakan seorang politisi, belum tentu sama dan sebangun dengan realitas yang sesungguhnya. Itulah yang disebut sebagai artikulasi politik. Dalam hal impor beras dari Vietnam dan Thailand tersebut, apakah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pernah mengadakan konferensi pers? Apakah Menteri Perdagangan Thomas Lembong pernah mengadakan konferensi pers? Apakah Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti pernah mengadakan konferensi pers?
Politik Beras, Politik Petak Umpet
Sampai di sini, kita tahu, urusan impor beras dan urusan perdagangan beras, tidak sepenuhnya bisa dilepaskan dari kepentingan politik penguasa. Kapan sebetulnya kesepakatan impor beras dari Vietnam dan Thailand tersebut ditandatangani? Berapa patokan harga yang digunakan? Berapa acuan kurs yang disepakati? Bagaimana mekanisme impornya? Bagaimana pula mekanisme distribusinya setelah tiba di tanah air? Dan, hingga hari ini, sudah berapa ton beras impor tersebut yang sudah merangsek ke Indonesia?