Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, ketika melakukan panen jagung di Desa Kampasi Meci, Kecamatan Manggelewa, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, pada Sabtu (11/4/2015). Dalam kesempatan tersebut, Mentan berdialog dengan para petani jagung dan menjelaskan tentang pentingnya swasembada jagung secara nasional. Foto: tribunnews.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Hingga Jumat (7/8/2015), sekitar 483.185 ton jagung impor, masih tertahan di pelabuhan[1]. Padahal, pada Jumat (31/7/2015), sudah ada kesepakatan antara Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) dengan Perum Bulog, terkait izin impor jagung. Benarkah kita pro pengusaha?
Ini bermula dari kebijakan Kementerian Pertanian, yang menghentikan impor jagung, pada Rabu (22/7/2015). Penghentian itu bukan tanpa alasan. Saat itu, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman[2], menyampaikan, penghentian impor tersebut, karena produksi jagung nasional naik. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin[3], mengumumkan pada Rabu (1/7/2015), produksi jagung tahun 2015 diperkirakan 20,67 juta ton pipilan kering, naik 1,66 juta ton (8,72 persen) dibandingkan 2014. Jelas, ini langkah yang patut kita apresiasi, sebagai bagian dari upaya untuk melindungi produksi jagung dalam negeri. Juga, merupakan jalan untuk meningkatkan kesejahteraan para petani jagung. Â
Pakan Ternak Terkait Rakyat Banyak
Penghentian impor jagung tersebut dinilai oleh sejumlah kalangan pengusaha pakan ternak, sebagai tindakan yang dadakan[4]. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), Sudirman, pada Minggu (26/7/2015), di Jakarta, mengatakan, penghentian impor jagung seharusnya didukung kepastian dan jaminan pasokan jagung dalam negeri. Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bayu Krisnamurthi, mengatakan, pemberhentian impor jagung secara mendadak akan membuat importir dan pabrik pakan menanggung kerugian atas jagung impor yang sudah dalam perjalanan atau yang akan bongkar.
Akhirnya, jalan tengah pun diambil. Rapat Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) dengan Perum Bulog pada Jumat (31/7/2015) itu, menyepakati, antara lain, terkait izin impor jagung untuk kapal yang sudah tiba atau masuk ke perairan Indonesia atau dalam perjalanan. Jagung sebanyak 483.185,19 ton yang diimpor pabrik pakan ternak itu, akan diproses berdasarkan prosedur yang sudah berjalan selama ini. Dalam hal ini, Perum Bulog bertindak melakukan pengawasan dan pengendalian.
Terus, kenapa hingga Jumat (7/8/2015), sekitar 483.185 ton jagung impor, masih tertahan di pelabuhan? Barangkali, ini hanya satu contoh yang menunjukkan bahwa kita belum sepenuhnya mendukung dunia usaha. Birokrasi pemerintahan, dalam hal ini Perum Bulog yang bertindak melakukan pengawasan dan pengendalian, mestinya paham efek domino yang ditimbulkan oleh tertahannya komoditas jagung untuk pengusaha pakan ternak tersebut. Imbasnya pastilah pada turunnya kapasitas produksi, juga turunnya pasokan pakan ternak, yang ujung-ujungnya harga pakan ternak melambung.
Jam kerja para buruh di pakan ternak akan berkurang, maka berkurang pula pendapatan mereka. Harga pakan ternak yang melambung, akan mencekik pelaku usaha ternak di Tanah Air. Bagaimana mungkin mereka menaikkan harga ternak di tengah daya beli masyarakat yang terus menurun? Mata rantai akibat gangguan pasokan jagung ke industri pakan ternak tidak bisa dipandang remeh. Karena, usaha peternakan adalah usaha yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak.
Perum Bulog Hendaknya Berinisiatif