[caption caption="Kontroversi taksi berbasis aplikasi terus bergulir. Minggu (27/3/2016), Cucu Mulyana, Direktur Angkutan dan Multimoda Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, menyatakan, izin usaha transportasi berbasis aplikasi ajukan ke daerah. Bukan ke Kementerian Perhubungan. Foto: mediakonsumen.com dan nst.com"][/caption]Izin transportasi berbasis aplikasi, otoritas daerah. Bukan Kementerian Perhubungan. Ini pernyataan resmi dari Dirjen Perhubungan pada Minggu (27/3/2016). Bandung, Surabaya, dan Bali tolak Uber dan GrabCar. Bagaimana industri aplikasi menyikapinya?
Kontroversi taksi berbasis aplikasi terus bergulir. Minggu (27/3/2016), Cucu Mulyana, Direktur Angkutan dan Multimoda Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, menyatakan, izin usaha transportasi berbasis aplikasi ajukan ke daerah. Bukan ke Kementerian Perhubungan. Syarat perizinannya tidak berbeda dengan izin usaha transportasi lain. Karena, produk yang ditawarkan sama, yakni jasa angkutan. Hanya mekanisme pemesanannya yang berbeda.
Apa yang dikemukakan Cucu Mulyana merupakan babak baru dari kontroversi tersebut. Sejak Uber mulai beroperasi di Jakarta pada Juni 2014, praktis pemerintah pusat tidak menunjukkan sikap yang jelas. Tidak ada sikap yang official sebagai pengendali regulasi. Demikian pula halnya ketika GrabCar mulai beroperasi di Jakarta per Minggu (9/8/2015). Kementerian Komunikasi dan Informatika nampaknya juga tidak melakukan koordinasi dengan Kementerian Perhubungan, dalam menyikapi keberadaan transportasi berbasis aplikasi tersebut.
Otoritas Pemerintah Daerah
Pernyataan Cucu Mulyana pada Minggu (27/3/2016) tersebut, bisa dijadikan landasan sebagai sikap Kementerian Perhubungan. Besoknya, pada Senin (28/3/2016), kompas.com melansir berita, pemerintah pusat memutuskan bahwa taksi Uber dan GrabCar harus mematuhi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Darat. Sampai di sini kita melihat bahwa pemerintah pusat telah menjalankan fungsinya sebagai pengendali regulasi. Meski terlambat, sikap pemerintah ini patut kita apresiasi, sebagai bagian dari upaya untuk mencegah timbulnya kontroversi yang berkelanjutan di antara para pelaku usaha jasa transportasi.
Sudah tepatkah sikap pemerintah pusat yang demikian? Apa dong apresiasi pemerintah pusat terhadap transportasi berbasis aplikasi? Dalam konteks ini, pemerintah pusat sebenarnya memberi keleluasaan kepada daerah untuk menyikapi transportasi berbasis aplikasi, sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Izin usaha transportasi berbasis aplikasi menjadi kewenangan daerah. Bukan Kementerian Perhubungan. Artinya, otoritas ada pada pemerintah daerah yang bersangkutan.
Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, misalnya, jauh-jauh hari sudah menyatakan dengan tegas bahwa Pemerintah Kota Bandung menolak Uber dan GrabCar. Itu dinyatakan Ridwan Kamil pada Senin (24/8/2015), setelah mencermati hasil seminar Fenomena Moda Transportasi Baru Kota Bandung di Era Digital. Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharani, juga menolak memberikan izin kepada Uber dan GrabCar. Sebagaimana dituturkan Tri Rismaharani pada Minggu (27/3/2016), penyelenggara transportasi berbasis aplikasi sudah berkali-kali hendak menemuinya, tapi ia tidak mau. Ditemui saja tidak mau, apalagi memberikan izin.
Dibandingkan Bandung dan Surabaya, Bali menempuh cara yang elegan, profesional, dan official dalam menyikapi transportasi berbasis aplikasi. Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, menerbitkan surat resmi Nomor 551/2783/DPIK tanggal 26 Februari 2016 yang ditujukan kepada pemimpin Uber Bali dan GrabCar di Bali. Surat yang ditandatangani Made Mangku Pastika tersebut juga ditembuskan ke sejumlah instansi terkait. Antara lain, ke Menteri Perhubungan, Ketua DPRD Bali, dan Direktorat Lalu Lintas Polda Bali. Intinya, pemerintah Provinsi Bali melarang Uber Bali dan GrabCar beroperasi di Bali.
[caption caption="Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, menjelaskan sistem transportasi di Bandung, dalam seminar Fenomena Moda Transportasi Baru Kota Bandung di Era Digital, pada Senin (24/8/2015). Intinya, perusahaan tersebut harus berbadan hukum, membayar pajak, membayar asuransi, menguningkan pelat nomor kendaraan yang digunakan, serta ada tempat domisili alias memiliki kantor di Bandung. Foto: kompas.com dan nst.com"]
Dengan sudah dilepasnya kebijakan transportasi berbasis aplikasi oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, langkah apa yang akan dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika? Apakah masih relevan pernyataan ini bukan perusahaan transportasi tapi perusahaan aplikasi? Sejauh ini, Rudiantara sebagai Menkominfo belum memberikan reaksi yang signifikan. Padahal, guidance dari Rudiantara tentulah dibutuhkan para pelaku usaha aplikasi di tanah air. Karena, secara otoritas, Kemenkominfo adalah lokomotif bagi perkembangan industri aplikasi anak negeri.
Benturan kebijakan dengan pemerintah daerah, seperti penolakan Bandung, Surabaya, dan Bali sudah sepatutnya disikapi Rudiantara secara kreatif. Karena, penolakan ini bukan lagi sekadar penolakan dari sesama pelaku usaha transportasi. Tapi, penolakan dari pemerintah daerah setempat, yang menjadi pemegang kendali regulasi transportasi di daerah yang bersangkutan. Kita tahu, Bandung, Surabaya, dan Bali adalah tiga daerah potensial. Di ketiga daerah tersebut, industri aplikasi transportasi bisa tumbuh dan berkembang bersama kemajuan ketiga daerah yang bersangkutan.
Ini hendaknya dilihat sebagai tantangan, bukan hambatan. Bila diyakini transportasi berbasis aplikasi tersebut sebagai salah satu solusi, kenapa Kemenkominfo tidak mengambil inisiatif untuk menjembatani para pelaku aplikasi transportasi dengan pemerintah daerah? Atau, katakanlah semacam sikap pro-aktif: Kemenkominfo bersama pemerintah daerah memetakan situasi-kondisi transportasi di daerah yang bersangkutan. Kemudian, merekomendasikan langkah-langkah berbasis teknologi aplikasi yang bisa dilakukan. Dalam hal ini, tentu yang relevan dikedepankan adalah keadilan benefit untuk publik, pelaku usaha, dan pemerintah daerah setempat.
Aspek keadilan benefit ini adalah komponen yang paling menonjol diperdebatkan dalam kaitan kontroversi transportasi berbasis aplikasi tersebut. Kita tahu, keadilan benefit adalah hakekat dari era ekonomi berbagi saat ini. Pelaku usaha di daerah serta pemangku kepentingan di daerah, tentulah tidak rela daerah mereka hanya dijadikan objek semata. Kota Bandung, misalnya. Sang Wali Kota, Ridwan Kamil, akan memberikan restu kepada Uber dan GrabCar untuk beroperasi di Bandung, bila perusahaan tersebut berbadan hukum, membayar pajak, membayar asuransi, menguningkan pelat nomor kendaraan yang digunakan, serta ada tempat domisili alias memiliki kantor di Bandung.