Uji cita rasa (cupping) kopi spesial Indonesia dengan latar belakang peta Indonesia pada The Nordic World of Coffee di Gothenburg, Swedia, pada 16-18 Juni 2015. Ini bagian dari upaya Indonesia mempromosikan kopi tanah air ke dunia internasional. Pada kesempatan tersebut, Indonesia berhasil menunjukkan kekayaan cita rasa kopi premium spesial Indonesia, dengan menyuguhkan 9 jenis kopi arabika indikasi geografis (IG) kepada buyers dan visitors serta mendisplai 45 jenis kopi spesial premiun hasil beauty contest kopi dari seluruh wilayah Indonesia. Foto: kompas.com dan kopiarabikabajawa.files.wordpress.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Presiden Joko Widodo[1], pada Senin (3/8/2015), mengajak pengusaha menyikapi pelemahan rupiah, sebagai peluang untuk memperlebar pasar ekspor komoditas. Sikap Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur[2], mungkin bisa jadi salah satu contoh, yang tahun ini mampu mengekspor 700 ton kopi arabika organik.
Sikap positif Kabupaten Ngada ini, juga sejalan dengan apa yang diungkapkan Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel[3], "Berkreasilah, demi peningkatan ekspor. Daerah-daerah di Indonesia, jangan hanya menunggu arahan pusat. Tangkap setiap peluang yang ada, agar lebih berdaya saing, di tengah perlambatan ekonomi ini." Berkreasi dan menangkap peluang, itulah yang ditunjukkan Kabupaten Ngada, sebagai bagian dari apa yang disebut kearifan lokal. Para petani kopi yang tersebar di beberapa titik di Kecamatan Golewa dan Kecamatan Bajawa[4] itu, berkreasi untuk menangkap peluang, dengan menanam kopi secara organik[5]. Mereka sama sekali tidak menggunakan pupuk kimia. Mereka mengembangkan pertanian non-pestisida. Karena, mereka sadar bahwa alam perlu dirawat dengan pendekatan yang alami.
Bermula dari 4 Kilogram Bibit
Capaian Kabupaten Ngada, yang tahun ini mampu mengekspor 700 ton kopi arabika organik, tentulah tidak datang dengan sendirinya. Semua itu membutuhkan ketelatenan dan kesungguhan. Apalagi terkait dengan tanaman kopi. Kopi robusta, misalnya, baru bisa berproduksi dan bisa dipanen pada usia 2,5 tahun, setelah ditanam. Sementara, kopi arabika lebih lama dari itu. Kopi ini baru mulai berbuah sekitar usia 3 tahun, setelah ditanam. Rentang usia siap panen tersebut, sangat bergantung pada iklim, ketinggian area tanam, dan ketelatenan perawatan.
Secara umum, tanaman kopi yang ditanam di daerah dataran rendah, lebih cepat berbuah dibanding tanaman kopi yang ditanam di dataran tinggi. Pada awalnya, kopi arabika di Ngada, mulai dibudidayakan tahun 1977, setelah Pemprov Nusa Tenggara Timur (NTT) membeli 4 kilogram bibit kopi arabika dan 4 kilogram bibit kopi propelegitim dari Jember, Jawa Timur. Propelegitim disemaikan di halaman kantor Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Ngada. Sementara, bibit kopi arabika disemaikan di perkebunan misi Katolik Malanuza, Boawae, 30 kilometer arah timur Ngada.
Kemudian, dari sejumlah penelitian diketahui, sebagai kopi yang berasal dari hutan pegunungan di Ethiopia, Afrika, kopi arabika[6] akan tumbuh dan menghasilkan secara optimal, bila ditanam di dataran tinggi. Karena itulah, pada masa pemerintahan Bupati Matheus John Bey (1978-1988), kopi arabika dikembangkan di Kecamatan Golewa dan Kecamatan Bajawa. Secara geografis, dua kecamatan tersebut berada di atas 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kawasan itu dinilai cocok dengan sifat dan karakter kopi arabika.
Apa yang dilakukan petani, tokoh masyarakat, dan kalangan pemerintahan Ngada tersebut, memperlihatkan bahwa ada proses untuk memahami kearifan lokal. Alam memang menjanjikan banyak hal, tapi kreativitas serta kesungguhan kita, adalah komponen yang tak kalah pentingnya, untuk meraih capaian yang maksimal. Dorongan untuk berkreasi, sebagaimana yang diungkapkan Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, di atas, rupanya jauh sebelumnya, sudah tertanam dalam diri masyarakat Ngada.
Berkreasi dengan Kopi Organik