Kalaupun sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo, masih ada rentang waktu yang cukup dari Mei 2016 hingga Oktober 2016, sebelum disahkan DPR menjadi UU. Ini menjadi indikator, betapa Komnas HAM tidak pro-aktif, ketika Perppu tersebut diproses menjadi UU. Padahal, UU Perlindungan Anak adalah UU yang sangat sensitif, yang seharusnya menjadi perhatian penuh para pemangku kepentingan, termasuk Komnas HAM.
IDI Konsisten Menolak
Reaksi Choirul Anam selaku Komisioner Komnas HAM pada Senin (26/08/2019) itu, berlanjut dengan reaksi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) pada Selasa (27/08/2019). Intinya, PB IDI menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual. Alasannya, kebiri kimia bukan bentuk pelayanan medis, bahkan berpotensi terjadi konflik norma.
Itu diungkapkan dengan tegas oleh Ketua Umum PB IDI, Daeng M. Faqih. Sikap PB IDI ini, bukan sesuatu yang tiba-tiba. Dari penelusuran saya, sikap PB IDI menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia, sudah mereka tegaskan sejak tiga tahun lalu, saat membahas Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang (UU) dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Sosial (Kemensos), dan Komisi IX DPR.
Dengan kata lain, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) konsisten dengan sikap mereka. PB IDI paham bahwa eksekusi hukuman kebiri kimia, bukanlah domain mereka. Itu domain perangkat hukum. Dalam hal ini, posisi PB IDI sebatas pelaksana. Pada Selasa (27/08/2019), Daeng M. Faqih kembali menegaskan, kami minta jangan menunjuk tenaga medis atau tenaga kesehatan sebagai eksekutor.
Di sisi lain, Rudy Hartono selaku Kepala Kejaksaan Negeri Mojokerto, belum bisa memastikan, kapan eksekusi kebiri kimia terhadap Muhammad Aris dilaksanakan. Pada Jumat (23/08/2019), Rudy Hartono menyebut, Kejaksaan Negeri Mojokerto harus koordinasi dulu dengan dokter, rumah sakit, tempat, serta izin pengamanan, sebelum melaksanakan hukuman tersebut.
Tetap melibatkan dokter? Nah, artinya eksekusi kebiri kimia terhadap Muhammad Aris, bisa kandas di tengah jalan. Kenapa? Karena, PB IDI menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual. Jika ada dokter yang melakukannya, berarti yang bersangkutan melanggar sikap PB IDI. Saya kemudian menelusuri eksistensi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam konteks hukum di Indonesia.
Pada Kamis (26/04/2018), Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di Indonesia, dengan sejumlah pertimbangan konstitusional. Itu dinyatakan oleh I Dewa Gede Palguna, dalam sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat No.6, Jakarta Pusat. Artinya, IDI satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang berhak mengeluarkan sertifikasi profesi dokter.
Nah, siapakah dokter yang akan mengeksekusi hukuman kebiri kimia terhadap Muhammad Aris?
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 27 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H