Ini respon untuk Dizzman, yang menulis Menyoal Kuota Haji yang Nganggur, yang merupakan tanggapan atas postingan saya Kuota Haji Nganggur, Kenapa Dibiarin? Semoga ini menambah pemahaman kita bersama.
Beragam Sebab Pembatalan
Terima kasih untuk Dizzman dan Kompasiana. Langsung saja, kuota haji nganggur pada tahun 2016, mencapai 759 kuota. Tahun 2017, ada 935 kuota. Tahun 2018, ada 648 kuota. Dan, pada tahun 2019, ada 524 kuota yang tak terpakai. Total dalam 4 tahun terakhir, ada 2.866 kuota haji yang nganggur. Yang tidak digunakan oleh Indonesia.
Jika menggunakan regulasi yang sekarang, tidak ada cara untuk meniadakan kuota haji nganggur, kecuali berdoa sekhusyuk-khusyuknya agar tidak ada seorang pun calon jamaah haji yang membatalkan diri. Menurut saya, potensi calon mengundurkan diri, pasti ada. Salah satunya, karena calon meninggal dunia. Bukan kah rezeki, maut, dan pertemuan adalah urusan Allah?
Memang, ada mekanisme yang mengatur: calon yang meninggal digantikan oleh ahli waris yang bersangkutan. Tapi, ahli waris itu seringkali tidak bisa segera disiapkan oleh keluarga calon yang meninggal. Apalagi jika calon meninggal di saat-saat menjelang keberangkatan. Akibatnya, kuota yang bersangkutan nganggur. Tidak terpakai.
Ada lagi pembatalan yang terjadi pada saat keberangkatan, karena tidak lolos screening kesehatan akhir. Misalnya, karena ketahuan hamil atau sakit berat. Alasan pembatalan lainnya, karena ada urusan kantor dan karena merasa belum siap pergi haji tahun ini, mereka menunda tahun depan. Intinya, ada beragam alasan pembatalan yang dikemukakan calon jamaah haji.
Sekali lagi, jika menggunakan regulasi yang sekarang, itu tak kan mampu mengatasi kuota haji nganggur. Kenapa? Karena, regulasi yang ada, tidak cukup lengkap mengatur respons terhadap berbagai sebab pembatalan, yang dari tahun ke tahun kian beragam. Faktor regulasi itulah yang menjadi sebab utama terjadinya kuota haji nganggur.
Untuk diketahui, acuan regulasi sebelumnya adalah UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Kemudian diperbarui dengan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang disahkan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Kamis (28/03/2019). Pengesahan tersebut, setelah ada kesepakatan bersama antara Pemerintah dan Komisi VIII DPR RI.
Kuota Nganggur Tak Diatur  Â
Perlu kita cermati, proses pembaruan Undang-undang tersebut, sudah berlangsung sejak tahun 2016 dan baru disahkan tahun 2019. Ini setidaknya menjadi penanda tentang betapa alotnya perdebatan di Kompleks Parlemen tersebut. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin juga mengakui, dinamika pembahasan RUU hingga disahkan menjadi UU, cukup alot.
Ada 12 poin penting yang diatur dalam Undang-undang yang baru tersebut, yang tidak diatur di Undang-undang yang lama. Itu dikemukakan Ali Taher Parasong, Ketua Komisi VIII DPR, saat membacakan laporan di depan seluruh peserta rapat paripurna. Saya menelusuri sejumlah pemberitaan terkait hal tersebut. Dan, saya tidak menemukan poin kuota haji nganggur di 12 poin penting tersebut. Â Â Â