Menag Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan pada Selasa (06/08/2019). Misalnya, ada satu provinsi yang tidak bisa memenuhi kuotanya, karena sejumlah alasan pembatalan di atas. Sisa kuota tersebut tidak bisa otomatis dialihkan ke provinsi yang lain, karena embarkasinya berbeda. ONH yang dibayar jamaah calon haji per embarkasi pun berbeda.
"Jadi, memang kompleks kondisinya, perpindahan jemaah tidak bisa lintas embarkasi. Belum lagi terkait konfigurasi dan jenis pesawat yang digunakan. Sistem untuk bisa menyerap 100 persen kuota itu, tampaknya sulit sekali," ujar Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin selaku pemegang otoritas pelaksanaan ibadah haji Indonesia.
Perlu Terobosan StrategisÂ
Dengan aturan yang ada saat ini, memang sulit sekali. Saya sepakat dengan Lukman Hakim Saifuddin. Tapi, itu bukan berarti tidak bisa diatasi. Bukan berarti tidak ada solusi. Salah satunya, dengan cara menciptakan regulasi. Bisa regulasi baru, bisa pula dengan merevisi regulasi yang sudah ada. Terobosan regulasi harus dilakukan, agar kuota yang tersedia terserap 100 persen.
Mencermati rentetan data yang diungkapkan Agus Maftuh Abegebriel di atas, ada 2.866 kuota haji nganggur dalam empat tahun terakhir. Itu bukanlah jumlah yang kecil. Dari penelusuran saya, belum ada terobosan yang signifikan dari Kementerian Agama untuk mengatasinya.
Kenapa harus ada terobosan? Pertama, calon jamaah haji yang membatalkan keberangkatan, pasti ada tiap tahun. Kedua, ONH tiap embarkasi berbeda-beda, sesuai jarak. Ketiga, calon jamaah haji tidak bisa lintas embarkasi. Nah, tanpa terobosan yang strategis, tidak akan mungkin kuota yang tersedia terserap 100 persen.
Dalam konteks diplomasi penambahan kuota haji kepada Arab Saudi, penyerapan 100 persen kuota tersebut, tentulah penting. Kita tahu, Presiden Joko Widodo terus melakukan berbagai upaya diplomasi, agar kuota jamaah haji Indonesia menjadi 250 ribu jamaah per musim haji. Jumlah itu mengacu pada keputusan KTT-OKI tahun 1987 di Amman, Yordania. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Konferensi Islam (OKI) tersebut, diputuskan, kuota haji berdasarkan satu per seribu dari jumlah penduduk muslim suatu negara.
Nah, diplomasi menjadi lemah, karena kuota haji yang sudah tersedia ternyata tidak diserap 100 persen. Saya pikir, substansi ini yang perlu dipahami oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin selaku pemegang otoritas pelaksanaan ibadah haji Indonesia. Dengan kata lain, kita meminta tambahan kuota haji, tapi penanganan internal belum maksimal.
Penyerapan kuota tersebut adalah salah satu dari sekian banyak komponen dalam penyelenggaraan haji. Pada komponen yang lain, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sudah melakukan banyak terobosan strategis. Salah satu indikatornya adalah tingkat kepuasaan jamaah haji. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menunjukkan, angka kepuasan jamaah haji Indonesia mencapai 85,23 persen. Itu kategori sangat memuaskan dan Indonesia baru pertama kali meraih capaian tersebut.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 14 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H