Ya, itu ungkapan Butet Kartaredjasa. Ada lagi yang lain. Karena Pak Wendo, saya bisa punya rumah. Ini ungkapan Sules, tim dokumentasi di salah satu media yang dikelola Arswendo Atmowiloto. Butet dan Sules mengingatkan saya pada satu kalimat pendek: induk dari kebaikan adalah perbuatan.
Abadi dalam Ingatan
Perbuatan baik itu abadi, bahkan melampaui batas hidup kita. Arswendo, misalnya. Ia sudah tutup usia. Ia sudah sampai di batas nafas. Tapi, kebaikannya masih terus dibicarakan, abadi dalam ingatan. Salah satunya dalam ingatan Butet Kartaredjasa. Meski kini ia hidup berkibar-kibar dari pentas ke pentas, tapi ia tak pernah lupa kebaikan Arswendo.
Kala itu, ia menggelandang di Jogja. Hidup bohemian, sebagai seniman panggung. Kadang mentas, kadang menulis sebagai freelancer tentang masalah-masalah sosial budaya untuk media-media lokal. Arswendo kemudian melibatkan Butet sebagai jurnalis di salah satu media yang dikelolanya.
Betapa terlambungnya Butet. Ia yang tinggal di Jogja tapi bisa bekerja untuk media nasional di Jakarta. "Saya itu anak buahnya. Dia itu inspirator yang menyelamatkan hidup saya. Saya dulu wartawan dia. Ia menyelamatkan hidup saya. Kalau gak dikasih makan jadi wartawan, ya gak hidup, keluarga saya sengsara," ujar Butet Kartaredjasa, pada Sabtu (20/07/2019).
Ketika itu, kami bertiga [saya, Butet, Harry Tjahjono] sedang mojok di pelataran Gereja Santo Matius Penginjil, Pondok Aren, Tangerang, Banten. Misa Requiem Arswendo Atmowiloto dan pelepasan jenazah, baru saja usai. Harry Tjahjono adalah penulis skenario serial Si Doel Anak Sekolahan, yang menciptakan lagu Harta Berharga bersama Arswendo, yang jadi soundtrack serial dan film Keluarga Cemara.
Butet tak putus-putus bercerita tentang kebaikan demi kebaikan Arswendo. Seakan-akan semua itu baru saja terjadi. Padahal, perbuatan baik Arswendo yang diceritakan Butet tersebut, sudah berlangsung bertahun-tahun yang lalu. Tapi, ia menceritakannya dengan lancar, detail, dan komprehensif. Itulah salah satu contoh, betapa perbuatan baik, menjadi abadi dalam ingatan.
Dalam berbuat baik, Arswendo tak pilih-pilih. Tak pilih orang, juga tak pilih waktu. Ia dengan enteng saja memberi peluang kepada orang yang datang, meski belum ia kenal sebelumnya. Meski berusia sangat jauh di bawahnya. Hilman Hariwijaya, misalnya. Ia diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di Majalah HAI oleh Arswendo, sejak Hilman baru mulai menulis.
Belum apa-apa dan belum menjadi siapa-siapa. Tapi kemudian, publik luas mengenal Hilman Hariwijaya, sejak HAI memuat cerita pendek yang diberi judul Lupus, pada Desember 1986. Ini kemudian berlanjut menjadi serial di HAI. Bahkan kemudian dibukukan menjadi novel.
Semua itu tak lepas dari ringan tangan Arswendo. Dalam konteks ini, saya melihat, Arswendo bukan hanya sosok penolong. Bukan hanya berbuat baik. Tapi, ia telah menjelma menjadi seorang inspirator, sebagaimana diakui Butet Kartaredjasa di atas. Di era 80-an, demikian banyak penulis-penulis baru bermunculan, yang sebagian besar berada dalam lingkaran Arswendo Atmowiloto.
Memang, tak semua sampai menjadi karyawan organik, tak semua masuk ke dalam struktur media yang dikelola Arswendo. Namun, semua nyaman, karena bisa menjadi bagian dari proses kreatif Arswendo. Menurut saya, salah satu faktor yang membuat nyaman, karena Arswendo nyaris tak banyak membuat aturan. Para penulis dan calon penulis pun leluasa berekspresi.
Untuk proyek penulisan tertentu, misalnya menyambut Hari Pendidikan Nasional, Arswendo menciptakan pembagian tugas. Setelah itu ya silakan kembangkan. Masing-masing saling bantu, saling berkolaborasi. Salah satu kata yang kerap diucapkan Arswendo jika ada proyek yang melibatkan banyak orang adalah manajemen pasar. Kita tahu, pasar nampak semrawut tapi tiap pedagang concern pada satu tujuan: jualan.