Kami ditempatkan di rusun, bukan mencari rusun. Itu kata penghuni rusun Jatinegara. Mereka mengaku dirugikan: digusur tapi tidak diganti rugi. Dan, mereka akan melawan, jika diusir Pemprov Jakarta.
Pesan mereka, jelas. Sikap mereka, tegas. Rusun Jatinegara, satu dari 23 rusun di Jakarta. Tunggakan penghuni mencapai Rp 31,7 miliar untuk 9.522 unit. Yang menunggak: 6.514 korban gusuran dan 3.008 warga umum. Jumlah tunggakan mereka terus melonjak, bergerak layaknya argometer. Akan bagaimana jadinya? Apakah setelah digusur, kemudian mereka diusir? Saya teringat nyanyian Iwan Fals[i]
Jakarta oh Jakarta
Kau tampar siapa saja saudaraku yang lemahÂ
Manjakan mereka yang hidup dalam kemewahan
Perlahan tapi pasti, para penunggak sewa rusun tersebut akan menjadi bom waktu bagi Jakarta. Mereka sudah digusur dengan tangan besi, akankah mereka juga diusir dari rusun dengan tangan besi? Waktu terus berjalan. Inilah potret orang-orang yang lemah, yang selalu kalah oleh beragam kebijakan. Dalam banyak hal, mereka tidak punya pilihan. Argumen penguasa, terlalu canggih bagi mereka. Jangankan untuk mendebat, memahami maksud penguasa pun, mereka tak kuasa.
Para penguasa hanya sekali tempo lemah-lembut: saat hendak berkuasa dan saat dahaga ingin berkuasa kembali. Setelah itu, mereka mati rasa. Kenapa? Karena, mereka tidak pernah mengaktifkan rasa, tapi selalu mengutak-atik angka. Mereka menghitung gubuk di pinggir kali, kemudian menggusur penghuni gubuk ke rusun. Telah berbuat baik? Sepintas, iya. Tapi, penguasa sesungguhnya sudah mencabut penghuni gubuk dari kehidupan ekonomi, yang telah puluhan tahun mereka jalani.
Gubuk mereka memang sudah berubah wujud menjadi sepetak hunian di rusun. Namun, mereka telah kehilangan aktivitas ekonomi, sumber kehidupan sehari-hari. Dengan pengetahuan yang terbatas serta ketersediaan modal yang sangat terbatas, tidak mudah bagi mereka untuk memulai usaha baru.
Kemampuan mereka beradaptasi, pastilah kalah jauh dibandingkan jajaran penguasa, yang telah menggenggam banyak ijazah dan sertifikat. Apakah penguasa bisa merasakan apa yang mereka rasakan? Di mata penguasa, mereka hanya tinggal angka: angka penghuni, angka penunggak. Saya teringat sajak Goenawan Mohamad[ii]
Orang ini tak berkartu.
Ia tak bernama.
Ia tak berpartai.
Ia tak bertandagambar.
Ia tak ada yang menangisi, karena kita tak bisa menangisi.
Ada amarah tapi tak berdaya. Peluh dan air mata menyatu, bergulir entah ke mana. Teriakan dan perintah, sudah tidak ada bedanya. Mereka yang berseragam, dengan bengis melaksanakan tugas. Ini bukan kemauan mereka. Ini bukan kehendak mereka. Yang mereka lakukan hanya tugas, sesuai perintah sang penguasa.
Inikah sesungguhnya perintah penguasa? Yang dengan bengis membasmi orang-orang miskin di pinggir kali, kemudian mencemplungkan mereka ke sepetak ruang di rusun tanpa daya secara ekonomi, lantas mengusir mereka karena tidak mampu bayar sewa? Ayo, pentaskan kembali orkestra di Balai Kota. Rayakan kemenangan, karena penguasa sudah sukses memiskinkan orang-orang miskin, menjadi lebih miskin. Benarkah kita tidak bisa menangisi? Saya teringat terjemahan lagu Bob Dylan[iii]