Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menyerap Spirit Soekarno-Hatta di Ruang Publik

23 Agustus 2017   18:46 Diperbarui: 24 Agustus 2017   00:07 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian besar dari kita belum ada, ketika negeri ini merdeka. Tapi, kita bisa leluasa menyerap spirit kemerdekaan. Misalnya, melalui seni mural, yang di hari-hari ini banyak kita temui di berbagai sudut kota. Seni mendekatkan kita dengan idealisme para pejuang bangsa.

Mural, a large picture painted or affixed directly on a wall or ceiling. Dan, saya menemukannya di kawasan perempatan Nonongan, Kecamatan Serengan, Kota Solo, Jawa Tengah. Itu adalah ruang publik. Siapa saja yang melintas di perempatan tersebut, tentu akan mengarahkan pandang ke sejumlah lukisan besar, yang terpampang di sana. "Kami dan anak muda Kota Solo menyebutnya street art, yang menjadi gelegak nasionalisme," tutur Sardono Waluyo Kusumo, pada Jumat (18/08/2017).

Idealisme pejuang bangsa
Sardono adalah sosok yang tidak terpisahkan dari sejumlah street art tersebut. Pada Jumat itu, ia membaur dengan kerumunan massa di perempatan Nonongan. Kita tahu, ia lahir di Solo, pada 6 Maret 1945, beberapa bulan sebelum kemerdekaan negeri ini diproklamirkan Soekarno-Hatta. Lebih dari itu, Sardono Waluyo Kusumo adalah seorang pelukis, penari, koreografer, dan juga seorang guru besar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sosok inilah yang menginisiasi terwujudnya sejumlah street art di perempatan Nonongan tersebut.

Berdiri di ruang publik itu, memandang mural Soekarno-Hatta, hati kita bergetar. Betapa tidak. Bung Karno dengan penuh semangat berpidato di depan ribuan warga. Di sebelahnya, berkibar sangsaka merah putih. Sungguh heroik. Apalagi bila kita ada di antara ribuan warga itu. Di mural tersebut, juga ada Bung Hatta, yang mengenakan topi dan kacamata. Sorot matanya jernih, senyumnya mengembang. Karakter Bung Karno dan Bung Hatta dilukiskan dalam satu frame mural itu, dengan sangat kuat. Sosok kedua tokoh bangsa tersebut menyatu bersama antusiasme ribuan warga menyambut kemerdekaan.

Hati saya bergetar, membayangkan situasi pada masa itu. Dan, puluhan warga yang sama-sama menatap ke mural itu, terdiam dengan penuh rasa kagum. Menurut saya, inilah salah satu kelebihan seni mural, seni lukis jalanan. Semua ditampilkan secara gamblang di jalanan, di ruang publik. Warga dengan beragam latar belakang, leluasa menikmati serta mencermatinya. Tidak dibutuhkan pengetahuan seni yang tinggi untuk mencernanya. Bahkan, warga yang belum pernah tersentuh seni lukis pun, paham akan makna seni mural tersebut.

Tulisan Merdeka Ataoe Mati di badan kereta ini, telah menjadi street art tersendiri di ruang publik. Dan, Merdeka bagi kita, tentu tidak pernah lepas dari sosok Soekarno-Hatta. Saat ini, kereta bersejarah tersebut berada di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Publik leluasa ke sana, menyerap spirit Soekarno-Hatta. Foto: heritage.kereta-api.co.id
Tulisan Merdeka Ataoe Mati di badan kereta ini, telah menjadi street art tersendiri di ruang publik. Dan, Merdeka bagi kita, tentu tidak pernah lepas dari sosok Soekarno-Hatta. Saat ini, kereta bersejarah tersebut berada di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Publik leluasa ke sana, menyerap spirit Soekarno-Hatta. Foto: heritage.kereta-api.co.id
Inilah barangkali yang disebut seni untuk semua: #Art4All. Pada Jumat (18/08/2017) itu, sejumlah warga yang melintas di perempatan Nonongan, berhenti. Yang berjalan kaki, berhenti sejenak, kemudian menghadap ke mural tersebut. Yang naik kendaraan, turun, kemudian memarkir kendaraan mereka. Suasana perjuangan, spirit kemerdekaan, serta idealisme kedua tokoh bangsa tersebut, sungguh menggugah warga. Mereka, dengan cara masing-masing, berusaha menyerap idealisme para pejuang. Seni, dalam hal ini seni mural, telah menggelegakkan nasionalisme warga, sebagaimana dituturkan Sardono Waluyo Kusumo.

Korelasi perjuangan kekinian
Spirit kemerdekaan dan berjuang demi bangsa, itulah dua poin penting yang saya resapi, tatkala mencermati sejumlah lukisan mural di kawasan perempatan Nonongan tersebut. Ada enam pelukis yang menggarap sejumlah mural itu. Di antaranya, Sonny Hendrawan dan Irul Hidayat. Mereka mulai melukis sejak hari Minggu (13/08/2017) dan direncanakan tuntas 10 hari ke depan. Hingga Jumat (18/08/2017), sudah puluhan kaleng cat ludes untuk melukis sejumlah mural dengan tinggi 6 meter tersebut. Meski belum sepenuhnya tuntas, pada puncak peringatan Hari Proklamasi ke-72, warga yang melintas di ruang publik tersebut sudah bisa menikmatinya.

Meski lukisan di kawasan perempatan Nonongan itu kategori mural, seni jalanan, namun kekuatan konsepnya, tidak bisa dipandang remeh. Ada korelasi antara perjuangan masa lalu dengan perjuangan kekinian. Salah satu buktinya, dengan ditampilkannya sosok lukisan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Ekspresi wajah Susi ditampilkan keras dan tegas, dengan latar belakang lautan. Juga, ada sosok bajak laut yang sedang action di sampingnya. Dengan gamblang, lukisan mural ini menunjukkan kepada kita, betapa keras perjuangan untuk menjaga lautan Indonesia, yang luasnya mencapai 3.257.483 kilometer per segi.

Saya teringat pada patung Bung Karno di Ende. Ia sangat gagah dan sorot matanya tajam. Saya cermati dengan saksama sorot matanya, yang mengarah ke Laut Sawu, arah selatan Pulau Flores. Secara administratif, Kota Ende adalah ibukota Kabupaten Ende, yang berada di selatan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Selama empat tahun, 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938, Bung Karno diasingkan di Kota Ende oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan, nyaris tiap hari, Bung Karno menghabiskan hari-harinya dengan membaca serta merenung, dengan posisi menghadap ke laut.

Sosok Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, juga tampil di antara sejumlah mural di kawasan perempatan Nonongan. Ini bagian dari korelasi perjuangan bangsa, karena Bung Karno sejak dulu selalu mengingatkan akan pentingnya menjaga kekayaan laut kita. Ini berkorelasi dengan perjuangan kita kini, menjadikan negeri ini sebagai poros maritim dunia. Foto: kompas.com
Sosok Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, juga tampil di antara sejumlah mural di kawasan perempatan Nonongan. Ini bagian dari korelasi perjuangan bangsa, karena Bung Karno sejak dulu selalu mengingatkan akan pentingnya menjaga kekayaan laut kita. Ini berkorelasi dengan perjuangan kita kini, menjadikan negeri ini sebagai poros maritim dunia. Foto: kompas.com
Ya, Bung Karno tiap hari menghadap ke Laut Sawu, sebagaimana posisi patungnya yang kita saksikan kini. Dari catatan Bung Karno, kita tahu, betapa hempasan gelombang samudera telah menjadi salah satu inspirasi penting baginya untuk menggelorakan revolusi, mengusir penjajah, demi kemerdekaan. Bila kita cermati lebih dalam, sesungguhnya Bung Karno sudah memandu kita untuk memahami potensi lautan sejak dulu. Selain sebagai sumber inspirasi, juga sebagai sumber penghidupan, serta sebagai bagian dari kedaulatan sebuah bangsa.

Berjuang untuk keberagaman
Mural sebagai street art, dengan sendirinya merupakan cermin dari keberagaman. Di perempatan Nonongan itu, misalnya, warga dari beragam segmen leluasa mengakses mural yang ada. Leluasa pula menafsirkannya. Kita tahu, keberagaman adalah bagian penting dari perjuangan Soekarno-Hatta. Dan, kita juga paham, ada banyak celah dalam keberagaman yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk memecah-belah kita sebagai bangsa. Bahkan, hingga 72 tahun usia republik ini, upaya untuk memecah-belah dengan mengadu-domba kita, masih terus terasa.

Karena itulah Bung Karno dan Bung Hatta tidak pernah henti mengingatkan agar kita terus berjuang, merawat keberagaman. Menjaga kebhinekaan. Ini karena sejak awal, kita memang sudah sangat beragam. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 mencatat, ada 1.211 bahasa daerah di Indonesia, ada 300 kelompok etnis, dan ada 1.340 suku di Indonesia. Dengan kata lain, kita semua bersaudara dan menjadi tugas kita bersama untuk senantiasa merawat kerukunan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun