Sebagian besar dari kita belum ada, ketika negeri ini merdeka. Tapi, kita bisa leluasa menyerap spirit kemerdekaan. Misalnya, melalui seni mural, yang di hari-hari ini banyak kita temui di berbagai sudut kota. Seni mendekatkan kita dengan idealisme para pejuang bangsa.
Mural, a large picture painted or affixed directly on a wall or ceiling. Dan, saya menemukannya di kawasan perempatan Nonongan, Kecamatan Serengan, Kota Solo, Jawa Tengah. Itu adalah ruang publik. Siapa saja yang melintas di perempatan tersebut, tentu akan mengarahkan pandang ke sejumlah lukisan besar, yang terpampang di sana. "Kami dan anak muda Kota Solo menyebutnya street art, yang menjadi gelegak nasionalisme," tutur Sardono Waluyo Kusumo, pada Jumat (18/08/2017).
Idealisme pejuang bangsa
Sardono adalah sosok yang tidak terpisahkan dari sejumlah street art tersebut. Pada Jumat itu, ia membaur dengan kerumunan massa di perempatan Nonongan. Kita tahu, ia lahir di Solo, pada 6 Maret 1945, beberapa bulan sebelum kemerdekaan negeri ini diproklamirkan Soekarno-Hatta. Lebih dari itu, Sardono Waluyo Kusumo adalah seorang pelukis, penari, koreografer, dan juga seorang guru besar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sosok inilah yang menginisiasi terwujudnya sejumlah street art di perempatan Nonongan tersebut.
Berdiri di ruang publik itu, memandang mural Soekarno-Hatta, hati kita bergetar. Betapa tidak. Bung Karno dengan penuh semangat berpidato di depan ribuan warga. Di sebelahnya, berkibar sangsaka merah putih. Sungguh heroik. Apalagi bila kita ada di antara ribuan warga itu. Di mural tersebut, juga ada Bung Hatta, yang mengenakan topi dan kacamata. Sorot matanya jernih, senyumnya mengembang. Karakter Bung Karno dan Bung Hatta dilukiskan dalam satu frame mural itu, dengan sangat kuat. Sosok kedua tokoh bangsa tersebut menyatu bersama antusiasme ribuan warga menyambut kemerdekaan.
Hati saya bergetar, membayangkan situasi pada masa itu. Dan, puluhan warga yang sama-sama menatap ke mural itu, terdiam dengan penuh rasa kagum. Menurut saya, inilah salah satu kelebihan seni mural, seni lukis jalanan. Semua ditampilkan secara gamblang di jalanan, di ruang publik. Warga dengan beragam latar belakang, leluasa menikmati serta mencermatinya. Tidak dibutuhkan pengetahuan seni yang tinggi untuk mencernanya. Bahkan, warga yang belum pernah tersentuh seni lukis pun, paham akan makna seni mural tersebut.
Korelasi perjuangan kekinian
Spirit kemerdekaan dan berjuang demi bangsa, itulah dua poin penting yang saya resapi, tatkala mencermati sejumlah lukisan mural di kawasan perempatan Nonongan tersebut. Ada enam pelukis yang menggarap sejumlah mural itu. Di antaranya, Sonny Hendrawan dan Irul Hidayat. Mereka mulai melukis sejak hari Minggu (13/08/2017) dan direncanakan tuntas 10 hari ke depan. Hingga Jumat (18/08/2017), sudah puluhan kaleng cat ludes untuk melukis sejumlah mural dengan tinggi 6 meter tersebut. Meski belum sepenuhnya tuntas, pada puncak peringatan Hari Proklamasi ke-72, warga yang melintas di ruang publik tersebut sudah bisa menikmatinya.
Meski lukisan di kawasan perempatan Nonongan itu kategori mural, seni jalanan, namun kekuatan konsepnya, tidak bisa dipandang remeh. Ada korelasi antara perjuangan masa lalu dengan perjuangan kekinian. Salah satu buktinya, dengan ditampilkannya sosok lukisan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Ekspresi wajah Susi ditampilkan keras dan tegas, dengan latar belakang lautan. Juga, ada sosok bajak laut yang sedang action di sampingnya. Dengan gamblang, lukisan mural ini menunjukkan kepada kita, betapa keras perjuangan untuk menjaga lautan Indonesia, yang luasnya mencapai 3.257.483 kilometer per segi.
Saya teringat pada patung Bung Karno di Ende. Ia sangat gagah dan sorot matanya tajam. Saya cermati dengan saksama sorot matanya, yang mengarah ke Laut Sawu, arah selatan Pulau Flores. Secara administratif, Kota Ende adalah ibukota Kabupaten Ende, yang berada di selatan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Selama empat tahun, 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938, Bung Karno diasingkan di Kota Ende oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan, nyaris tiap hari, Bung Karno menghabiskan hari-harinya dengan membaca serta merenung, dengan posisi menghadap ke laut.
Berjuang untuk keberagaman
Mural sebagai street art, dengan sendirinya merupakan cermin dari keberagaman. Di perempatan Nonongan itu, misalnya, warga dari beragam segmen leluasa mengakses mural yang ada. Leluasa pula menafsirkannya. Kita tahu, keberagaman adalah bagian penting dari perjuangan Soekarno-Hatta. Dan, kita juga paham, ada banyak celah dalam keberagaman yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk memecah-belah kita sebagai bangsa. Bahkan, hingga 72 tahun usia republik ini, upaya untuk memecah-belah dengan mengadu-domba kita, masih terus terasa.
Karena itulah Bung Karno dan Bung Hatta tidak pernah henti mengingatkan agar kita terus berjuang, merawat keberagaman. Menjaga kebhinekaan. Ini karena sejak awal, kita memang sudah sangat beragam. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 mencatat, ada 1.211 bahasa daerah di Indonesia, ada 300 kelompok etnis, dan ada 1.340 suku di Indonesia. Dengan kata lain, kita semua bersaudara dan menjadi tugas kita bersama untuk senantiasa merawat kerukunan ini.
Untuk kita, yang sebagian besar belum ada ketika negeri ini merdeka, ada pesan dari penyair Chairil Anwar. Mari kita simak petikan sajak Karawang Bekasi, yang ia ciptakan tahun 1948, tiga tahun setelah negeri ini merdeka:
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 23 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H