Ini pengumuman juara dari KPK. Yang paling jago menggaruk uang rakyat ya lulusan S2. Lebih dari 200 orang. Ya, lebih dari 200 magister yang korup di negeri ini. Sungguh kado pahit di Hari Proklamasi.
Tanpa menunggu upacara 17 Agustus, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengumumkan juara korupsi di negeri ini. Yang mengumumkan, Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif. Diumumkan di Gedung KPK, Jakarta Selatan, pada Rabu (16/08/2017). Urutan juara korupsi: lulusan S2 lebih dari 200 orang, lulusan S1 sekitar 100 orang, dan lulusan S3 ada 53 orang. "Ini data yang di KPK, belum termasuk yang di polisi dan jaksa. Yang lulusan SD, tidak ada," tutur Laode M. Syarif.
Mengikis Perjuangan Pahlawan
Apa yang diumumkan KPK itu, tentulah patut menjadi bahan renungan kita di Hari Proklamasi ini. Ternyata, kesadaran berbangsa, tidak paralel dengan jenjang pendidikan. Artinya, tingginya pendidikan seseorang, tidak dengan serta-merta menyurutkan niat mereka untuk mengkhianati bangsa. Padahal, untuk sampai di jenjang akademik tersebut, mereka telah melalui segenap mata pelajaran, mata kuliah, pelatihan, serta berbagai tingkat ujian. Toh, semua itu tidak cukup ampuh untuk me-rem hasrat mereka untuk korupsi.
Memang, dibandingkan dengan 250 juta penduduk negeri ini, secara persentase, mungkin jumlah koruptor tersebut, tidak seberapa. Tapi, mari kita lihat secara rasio. Saat ini, diperkirakan per satu juta penduduk, ada sekitar 2.300 lulusan S2. Artinya, mereka yang berhasil meraih gelar master, bisa dikatakan kelompok masyarakat yang eksklusif. Tidak banyak warga yang mampu untuk mencapai jenjang akademik tersebut. Bisa dikatakan, mereka bukan golongan orang kebanyakan.
Jika saja perilaku 2.300 master per satu juta penduduk itu sejalan dengan cita-cita founding father kita, tentulah mereka mampu menginspirasi warga yang lain untuk memajukan bangsa ini. Namun, nyatanya, mereka justru menggerogoti rasa kebangsaan kita. Mereka telah mengikis perjuangan para pahlawan dengan perbuatan yang tidak terpuji. Dan, pengikisan rasa kebangsaan oleh kaum terdidik itu, terus berlangsung dari tahun ke tahun, hingga di peringatan Hari Proklamasi ke-72 ini.
Menodai Institusi Edukasi  Â
Rudi Rubiandini bukan hanya master. Ia juga menyandang gelar doktor, sekaligus seorang guru besar. Dari catatan KPK, ada 53 orang lulusan S3 melakukan tindak pidana korupsi. Secara rasio, saat ini kita hanya memiliki 143 doktor per satu juta penduduk. Mereka yang 143 itu tentulah kelompok warga yang sangat eksklusif. Punya daya pengaruh terhadap warga lainnya. Dengan kata lain, pada sosok seperti merekalah sesungguhnya kita berharap tegaknya idealisme, bangkitnya kesadaran berbangsa.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang terdidik, mereka yang berpendidikan tinggi, bahkan mereka yang menjadi teladan, nyatanya justru menggerogoti rasa kebangsaan kita. Mereka telah mengikis perjuangan para pahlawan dengan perbuatan yang tidak terpuji. Pada peringatan Hari Proklamasi ke-72 ini, mari kita bersama merenungi wajah pendidikan kita, performa institusi edukasi kita. Saya belum pernah membaca penelitian yang komprehensif: seberapa relevan ranah edukasi kita mampu me-rem hasrat untuk korupsi?
Kita melihat, berbagai mata ajaran di berbagai jenjang pendidikan, diciptakan lebih karena sikap reaktif dan pragmatis. Misalnya, masalah narkoba sedang marak, terus berbagai kalangan berteriak: masukkan pencegahan narkoba ke program pendidikan. Terus, ketika tindakan intoleransi mewabah, para pengambil kebijakan bersorak: masukkan pendidikan toleransi ke sekolah-sekolah. Juga, tatkala tindakan korupsi terjadi di mana-mana, para stakeholder berkoar: jadikan gerakan anti korupsi sebagai mata ajaran. Bahkan, saat nasionalisme di kalangan muda dinilai menipis, begitu banyak yang berkoar-koar: berikan pendidikan karakter di sekolah.
Mencermati Pemicu Korupsi
Dengan pikiran sederhana, saya bertanya: bukankah sikap reaktif dan pragmatis adalah cikal-bakal dari tindakan korupsi? Bukankah sikap reaktif dan pragmatis adalah ibu kandung dari budaya instant? Mau cepat dan mau gampang, tanpa peduli dengan proses? Bukankah semua itu adalah elemen-elemen yang memicu terjadinya tindak korupsi? Baru masuk kerja, ingin segera punya rumah, ingin cepat punya kendaraan pribadi? Keinginan ini menggejala di mana-mana, bukan hanya di lingkungan swasta, tapi juga di lingkaran pemerintahan. Bukankah semua itu memicu tindakan korupsi?