Nasib desa terus jadi sorotan. Puluhan triliun Dana Desa, belum juga mengurangi kemiskinan warga. Dan, 107 dari 139 aktor korupsi anggaran desa adalah Kepala Desa. Apa yang bisa kita perbuat untuk desa?
Sebagai Kompasianer, kita tidak punya power untuk menangkap para Kepala Desa (Kades) tersebut. Kita pun tidak memiliki cukup dana untuk digelontorkan kepada warga miskin di desa. Kita hanya punya kata, titik, koma, dan kamera. Itulah yang ada di kita. Mari kita bertolak dari yang ada, berbuat untuk desa sekitar.
Wirausaha dari Desa
Postingan Mas Yunus Spirit Wirausaha Susu Menyala di Brau, Dusun Bekas IDT di Kota Batu di Kompasiana pada Selasa (08/08/2017) agaknya bisa kita jadikan contoh. Kompasianer dari Malang, Jawa Timur, ini telah turut menebarkan optimisme tentang kewirausahaan. Apalagi gerakan wirausaha itu tumbuh di desa, yang dulunya masuk kategori inpres desa tertinggal (IDT). Kini, sebagaimana ditulis Mas Yunus, ada sekitar 600-700 ekor sapi perah di Dusun Brau, Desa Gunungsari, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, tersebut. Dusun itu dihuni oleh sekitar 130 Kepala Keluarga (KK).
Dengan berwirausaha di bidang susu sapi, mereka mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Juga, menyekolahkan anak-anak mereka. Karena kegigihan berwirausaha itulah, warga desa tersebut bisa naik peringkat, tidak lagi masuk kategori desa tertinggal. Sebagian dari mereka bergabung menjadi anggota koperasi di sana. Dengan demikian, pijakan warga dalam berwirausaha, bukan lagi sebatas aktivitas perorangan, tapi sudah bersekutu sebagai kelompok. Artinya, ini sudah menjadi kekuatan ekonomi, dalam skala desa.
Kompasianer Mas Yunus, dengan kata, titik, koma, dan kamera, telah berbagi inspirasi kepada kita, juga kepada warganet di berbagai penjuru. Karena itulah saya menyebut Mas Yunus telah turut menebarkan optimisme tentang kewirausahaan. Juga, optimisme tentang kegigihan warga desa. Ini bisa menjadi salah satu contoh, bagaimana warga desa menumbuhkan ekonomi mereka. Tentu, masih ada sejumlah desa lain, dari sekitar 75.000 desa di tanah air, yang patut dijadikan inspirasi. Â Â Â
Optimisme dari Kompasianer
Kompasianer yang menulis di Kompasiana, memiliki peluang besar untuk menjadi bagian dari penebaran optimisme berwirausaha tersebut. Memang, gerakan berwirausaha bukan hanya terjadi di desa, tapi juga di berbagai kota. Dan, Kompasianer juga tersebar di desa, di kota, bahkan di luar negeri. Dalam tulisan ini, saya sengaja fokus pada wirausaha di desa, karena secara nasional nasib warga desa tak kunjung bangkit. Ditambah lagi dengan maraknya korupsi dana desa, maka kondisi desa semakin terpuruk.
Keterpurukan desa, sudah sepatutnya juga menjadi concern kita sebagai Kompasianer. Indikatornya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai tukar petani dari Juni 2016 ke Juni 2017, anjlok dari 101,47 menjadi 100,53. Upah riil pekerja pertanian, turun dari Rp 38.130 per hari pada Juni 2015 ke Rp 37.421 per hari pada Juni 2016, kemudian turun lagi menjadi Rp 37.396 di Juni 2017. Dengan terus menebarkan optimisme tentang wirausaha, melalui kata, titik, koma, dan kamera, setidaknya akan ada warga yang tergerak untuk berwirausaha. Â
Saya sebagai Kompasianer, juga kerap mencermati mereka yang berwirausaha, terutama di desa. Salah satunya adalah penjual air tebu di Desa Gorang Gareng, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Saya penggemar air tebu dan saya menemukan penjual air tebu itu mangkal di depan Terminal Gorang Gareng. Sang penjual, mengaku sudah pernah merantau ke berbagai kota di Indonesia, di antaranya, ke Jakarta dan Balikpapan. Sudah setahun ini, ia kembali ke desa untuk berwirausaha. Dengan modal tabungan yang ada, ia memilih menjadi penjual air tebu.
Tantangan Kreatif Wirausaha  Â
Dari penjual air tebu itu, saya belajar tentang kreativitas. Mereka tidak hanya menjual air tebu seperti orang kebanyakan. Mereka terlebih dahulu melakukan uji-coba, untuk menemukan jenis tebu yang prima, sebagai bahan baku. Dan, tebu buah akhirnya menjadi pilihan. Karena tebu itu banyak ditanam di Tulungagung, untuk menekan biaya, mereka membelinya secara bersama-sama. Harga beli bisa ditekan, ongkos angkut bisa miring. Dalam konteks wirausaha, kreativitas mereka menyiasati bahan baku dan biaya operasi, membuat saya terkesan.