Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam, karena seratus juta penduduknya. Ini petikan puisi penyair Taufik Ismail, yang ia tulis tahun 1971. Dan, saya turut membebani Pulau Jawa dengan bermukim di Jakarta, merantau dari Padang. Maka, perjalanan mudik Jakarta-Padang pulang-pergi adalah kisah tahunan, yang senantiasa terekam dalam jiwa. Grabuk-grubuk mudik adalah proses yang senantiasa saya nikmati, termasuk bermacet-macet di jalanan. Ini sepenggal kisah tentang road to Padang untuk meredam rindu akan kampung halaman.
Berangkat Sehabis Tarawih
Setelah berkali-kali mudik, akhirnya saya sampai pada kesimpulan sementara: berangkat sehabis tarawih. Artinya, sejak siang, segala perlengkapan untuk mudik sudah dimasukkan ke dalam mobil. Dengan demikian, saya bisa berbuka dengan leluasa, juga shalat tarawih dengan khusyuk. Sepulang dari masjid, langsung tancap gas menuju Pelabuhan Merak, dengan tangki bensin full. Jalanan Jakarta sudah agak lengang, karena saya selalu mudik tiga hari sebelum Lebaran, sesuai dengan ketetapan libur kantor.
Pelabuhan Merak pada saat itu dipastikan padat. Kalau sedang beruntung, kita bisa menyeberang sebelum makan sahur. Yang sering saya alami, makan sahur di kawasan pelabuhan. Komposisi menu sahur harus dijaga agar tidak menimbulkan kantuk. Saya biasanya hanya sedikit makan nasi. Dan, begitu mobil masuk kapal penyeberangan, saya langsung mencari tempat untuk goleran, biar bisa tidur. Istirahat itu, harus.
Dalam kondisi normal, pelayaran Merak-Bakauheni sepanjang 15 mil, bisa ditempuh kapal dua jam. Di musim mudik, itu tidak pernah saya alami. Kenapa? Pertama, kecepatan kapal cenderung lebih lambat dari biasanya. Menurut petugas kapal yang sempat saya wawancarai, pelambatan ini dilakukan demi keamanan, mengingat muatan kapal full. Kedua, kapal antre untuk merapat ke dermaga Bakauheni, Provinsi Lampung. Menurut petugas kapal, ini karena jumlah kapal yang beroperasi tidak sepadan dengan jumlah dermaga yang tersedia.
Jalur penyeberangan di Selat Sunda, yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera, merupakan lintasan penyeberangan terpadat di Indonesia. Pada mudik tahun 2016, Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Pelabuhan Merak mencatat pada H-5, jumlah kendaraan yang menyeberang mencapai 27.895 unit. Detailnya, sepeda motor 15.303 unit, mobil pribadi 11.638, bus 535 unit, dan truk 689 unit.
Semua itu dilayani oleh 62 kapal yang beroperasi. Bagaimana dengan dermaga? Inilah yang saya sebut sebagai jumlah yang tidak sepadan. Di Pelabuhan Merak ada 5 dermaga dan di Pelabuhan Bakauheni ada 7 dermaga, tapi hanya 6 yang dioperasikan. Kondisi tidak sepadannya jumlah pelayaran dan jumlah dermaga ini membuat antrean kapal beruntun. Artinya, kapal antre dan kendaraan yang mau masuk kapal juga antre.
Akibatnya, total waktu yang dibutuhkan untuk menyeberang Selat Sunda bisa mencapai 3-4 jam. Bila ditambah dengan waktu antre di pelabuhan selama 6 jam, maka setidaknya dibutuhkan waktu 10 jam untuk melewati masa krisis tersebut. Situasi seperti ini saya nikmati sejak tahun 1980 dan selalu berulang saban tahun. Karena mudik ini saya jalani di hari-hari terakhir puasa, saya tetap memilih berpuasa. Akan terasa lebih nikmat menjemput rindu pada kampung halaman, dengan tetap merawat puasa ramadan.
Di beberapa kali mudik, saya pernah menyiasati masa krisis di Pelabuhan Merak tersebut. Caranya? Pertama, saya minta rekan saya untuk membawa mobil pada H-10 dan langsung menyeberang ke Bakauheni. Pada H-10, Merak belum begitu padat. Kebetulan ada kenalan saya yang tinggal tak jauh dari Bakauheni. Selama beberapa hari ia stay di sana. Kedua, pada H-3, saya nyusul ke Merak dengan kereta api. Dengan cara ini, saya tidak perlu antre naik kapal, karena tanpa kendaraan.
Jadi, begitu sampai di Merak, saya langsung naik kapal untuk menyeberang. Di Pelabuhan Bakauheni, rekan saya tadi langsung menjemput dan kami langsung tancap gas menuju Padang. Artinya, saya sukses memangkas 6 jam waktu antre di Merak. Siasat yang saya lakukan tersebut, bisa juga dilakukan oleh para pemudik ke Sumatera, yang tidak membawa kendaraan. Lebih baik menggunakan kereta api ke Merak, daripada naik bus. Kenapa? Ya, bisa terhindar dari kemacetan. Dengan kereta api, kita bisa langsung ke pelabuhan, karena jaraknya berdekatan.
Saya juga pernah mudik ke Padang tanpa membawa kendaraan. Katakanlah mudik model backpacker. Dari Stasiun Duri, Jakarta Barat, saya naik kereta lokal ke Merak. Langsung naik kapal. Nah, di atas kapal, saya cari supir dan kondektur bus tujuan Padang. Umumnya, mereka ngumpul di dek kapal. Dari penampilan mereka, kita mudah kok menandai bahwa mereka supir atau kondektur. Kepada mereka, saya tanya, apakah masih ada bangku kosong. Mungkin ada, tapi bukan bus yang langsung ke Padang, tapi ke Bukittinggi atau Solok. Tak apa, toh nanti tinggal nyambung. Dengan cara ini, kita bisa dapat ongkos bus lebih murah.
Hehehe, sejak Sabtu (1/4/2017), kita sudah tidak bisa lagi menggunakan kereta lokal dari Jakarta ke Merak. Gantinya, ada 16 kali perjalanan commuter line (CL) dari Stasiun Tanah Abang ke Rangkasbitung, yang kemudian dilanjutkan dengan kereta lokal ke Stasiun Merak. CL pertama dari Tanah Abang berangkat 05:50 WIB dan CL terakhir dari Tanah Abang berangkat 21:45 WIB. Untuk keperluan mudik, tentu ini membuat kita leluasa memilih perjalanan yang sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu, masih ada alternatif untuk menuju Merak, yaitu kereta api Krakatau. Ini kereta jarak jauh Blitar-Merak, tapi kita bisa naik dari Jakarta ke Merak secara direct. Karena ini kereta eksekutif, maka tarifnya agak mahal, sekitar Rp 30.000,- untuk sekali perjalanan Stasiun Pasar Senen-Merak, misalnya. Ada beberapa stasiun yang dilalui, yang bisa disesuaikan untuk kebutuhan mudik melalui Merak. Silakan cermati tabulasi berikut: