Bagaimana Sapardi Djoko Damono merawat gagasan tentang hujan? Di berbagai kesempatan, ia kerap bercerita bahwa sejak kecil, ia sangat menggandrungi hujan serta acap bermain-main di bawah hujan deras. Sajak Hujan Bulan Juni ini, ia ciptakan tahun 1989. Sebelumnya, tahun 1984, ia menciptakan sajak Sihir Hujan, yang kemudian mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia. Sebagai buku kumpulan puisi, Hujan Bulan Juni ini diterbitkan pertama kali tahun 1994 oleh penerbit Grasindo.
Kemudian, tahun 2013, Gramedia Pustaka Utama menerbitkan buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni tersebut, dengan sejumlah pembenahan. Buku ini berisi 102 puisi Sapardi Djoko Damono yang ditulis tahun 1959-1994. Tak hanya sampai di situ. Sapardi Djoko Damono kemudian melanjutkan gagasannya tentang hujan dalam wujud novel, dengan judul yang sama Hujan Bulan Juni. Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dan diluncurkan di Gramedia Central Park, Jakarta Barat, pada Minggu (14/6/2015) sore.
Melalui cara ini, Sapardi Djoko Damono menunjukkan kepada kita, betapa proses kreatif sesungguhnya tidak pernah berhenti. Karya yang sudah diciptakan, bila terus dieksplorasi secara kreatif, dengan sendirinya akan memicu lahirnya karya-karya berikutnya. Ada ketelatenan yang patut kita teladani dalam berkarya. Ada disiplin berpikir, yang tentu tidak ada salahnya kita jadikan acuan.
Ketika hari-hari ini ruang baca kita penuh dengan percakapan tentang toleransi, apa yang disuguhkan novel 144 halaman tersebut, agaknya relevan. Novel Hujan Bulan Juni tersebut berkisah tentang hubungan manusia, yang diwarnai perbedaan budaya dan agama. Fokusnya tentang bagaimana dua anak manusia yang penuh perbedaan menyiasati lingkungan sosial dan saling memberi makna atas kasih sayang.
isson khairul –dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 15-02-2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H