Hujan tak hanya turun di bulan Juni. Pada Februari ini, misalnya, hujan turun nyaris tanpa henti. Bumi basah dan angin dingin bertiup ke sekujur diri. Inspirasi pun mengalir seperti air sungai yang bergegas menuju muara.
Hujan dan inspirasi bagai dua sisi mata uang. Ada hujan, ada inspirasi. Demikian pula sebaliknya. Kita dengan mudah menemukan banyak karya kreatif yang terkait dengan hujan. Baik dalam bentuk tulisan, nyanyian, maupun film. Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono ini, hanya salah satu dari sedemikian banyak contoh. Dari satu contoh ini, kita sesungguhnya bisa belajar banyak hal, khususnya di bidang tulis-menulis.
Hujan di Musim Kemarau
Hujan Bulan Juni ini pada awalnya adalah sebuah puisi, yang diciptakan Sapardi Djoko Damono pada tahun 1989. Kita tahu, tahun tersebut adalah tahun kemarau panjang. Tanah di areal persawahan kering-kerontang, merekah. Dedaunan pohon menguning, kekeringan. Sebagian pohon bahkan sudah meranggas, tinggal dahan dan ranting tanpa daun. Sesekali, turun hujan, yang oleh para petani di Jawa disebut sebagai hujan kiriman atau udan kiriman.
Barangkali, karena itulah Sapardi Djoko Damono menuliskan: tak ada yang lebih tabah | dari hujan bulan juni pada bait pembuka sajak Hujan Bulan Juni ini. Betapa tidak. Hujan kiriman itu nyaris tak berdampak, bahkan tak cukup untuk sekadar mengikis debu. Ketabahan sang hujan menghadapi bumi yang kerontang, itulah yang dibenturkan Sapardi Djoko Damono dalam sajak ini. Ia menangkap, kemudian memaknai peristiwa alam tersebut secara kreatif, dengan pilihan kata yang cermat: tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni.
Dengan cara ini, Sapardi Djoko Damono mengingatkan kita, agar lebih jeli memaknai peristiwa yang berlangsung sehari-hari. Apa yang nampak oleh mata, apa yang terdengar oleh telinga, dan apa yang terasa oleh pori-pori, hendaklah dicerna dengan sungguh-sungguh, sebelum dituliskan. Inilah yang disebut sebagai proses pemaknaan dari sebuah peristiwa. Proses ini pula yang membuat seorang penulis berhasil menemukan sudut pandang yang unik, yang berbeda dengan sudut pandang masyarakat pada umumnya.
Di atas ada langit, tempat bergumulnya awan. Di bawah ada bumi, tempat tumbuhnya pepohonan. Sapardi Djoko Damono memaknai, ada rindu pohon pada hujan di langit dan ada rindu hujan pada pohon di bumi. Barangkali, karena itulah Sapardi Djoko Damono menuliskan: dirahasiakannya rintik rindunya | kepada pohon berbunga itu pada baris berikutnya sajak Hujan Bulan Juni ini. Rindu yang membentang antara langit dan bumi, terhalang oleh kemarau panjang. Dan, sesekali terhubungkan oleh udan kiriman.
Maka, bisa dipahami: tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni. Ketabahan menahan rindu karena terhalang kemarau panjang, sungguh sebuah pemaknaan yang mencengangkan atas peristiwa alam tersebut. Karena ini merupakan udan kiriman, yang turun sesekali di tengah kemarau panjang, maka dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu. Hmm … alangkah halus dan dalam Sapardi Djoko Damono memaknai hujan.
Ia tidak menuliskannya dengan meledak-ledak, meski ia paham bahwa rindu hujan dan pepohonan sudah menggelora. Dalam hal ini, Sapardi Djoko Damono mengingatkan kita, agar senantiasa mengelola pikir dan rasa secara saksama, ketika menulis. Juga, konsisten menjaga sudut pandang serta gagasan yang sudah dipilih. Merawat gagasan dalam sebuah tulisan, tentulah membutuhkan disiplin berpikir yang memadai. Inilah salah satu kekuatan dari karya-karya Sapardi Djoko Damono.