Ini kreasi seniman seni rupa di salah satu halte bus di Kota Semarang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Halte bus dan tempat publik, menjadi ruang bagi seniman untuk menuangkan idenya tentang isu yang bertemakan kerukunan umat beragama. Karya tersebut menjadi media kampanye mengenai isu keberagaman dan kerukunan di tengah masyarakat yang majemuk, dengan beragam latar belakang suku dan agama. Foto: print.kompas.com
Kamis (24/12/2015), umat Islam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Jumat (25/12/2015), umat Kristiani merayakan Natal. Waktu senantiasa mengajari kita untuk hidup rukun berdampingan, dalam kebhinekaan. Karena, sejak awal, negeri ini dibangun dengan kebersamaan, dengan keberagaman.
Untuk memahami kebersamaan, keragaman, dan kerukunan, kita sesungguhnya bisa belajar dari keseharian. Di banyak tempat, juga di berbagai kesempatan, kita punya peluang untuk mengembangkan kebersamaan, keragaman, dan kerukunan tersebut melalui sikap toleransi. Sebagai pengendara sepeda motor, misalnya, kita bisa toleran kepada para pejalan kaki, dengan berhenti di belakang marka penyeberang jalan. Mereka yang masih muda, misalnya, bisa toleran kepada para lansia, ibu hamil, dan penyandang disabilitas, dengan memberikan tempat duduk di kendaraan umum atau di ruang tunggu.
Toleransi dari Jalanan
Latihan bertoleransi dalam keseharian yang demikian, adalah proses bagi kita untuk melangkah ke toleransi yang lebih substansial. Dalam hal toleransi beragama, misalnya. Di ruang publik, para seniman seni rupa kerap mengingatkan kita dengan cara yang kreatif, melalui mural. Salah satu contohnya, seperti yang bisa kita lihat di salah satu halte bus di Kota Semarang, Jawa Tengah, di atas. Lima orang, dengan simbol keyakinan masing-masing, mengayuh sepeda panjang bersama-sama.
Secara simbolik, lukisan mural tersebut, tentu saja menggugah, dalam konteks kerukunan. Mereka yang kerap menggambar di ruang publik, seperti di dinding, di jembatan, dan di tiang-tiang di perkotaan, menamakan diri seniman jalanan, street artist. Lukisan mural tersebut, seringkali tidak bertahan lama. Petugas kebersihan kota akan menghapusnya, karena mural itu dianggap merusak keindahan kota. Meski demikian, message berbagai mural yang demikian, toh sudah sampai ke banyak pasang mata.
Di era digital kini, ada saja warga yang memotret mural, kemudian mem-publish-nya di sosial media. Jadi, meski wujud fisiknya sudah dihapus, toh kita masih bisa menemukannya di ranah maya. Dengan kata lain, warga yang menyebarkan mural dengan message kerukunan, berarti telah turut pula menebarkan spirit toleransi di antara kita. Sebagian mungkin tergugah. Sebagian lagi, mungkin tidak peduli. Tapi, itu bukan alasan bagi kita untuk berhenti menebarkan spirit kebersamaan, yang kita temukan di ruang-ruang publik.
Semua ini adalah proses. Karena, gugahan toleransi dari ruang publik ini, akan melengkapi berbagai semboyan toleransi yang disuarakan secara formal oleh mereka yang berwenang, dari ruang seminar, ruang kuliah, ruang konferensi, serta dari berbagai rumah ibadah. Meski suara toleransi dari ranah formal tersebut tidak sepenuhnya dipahami oleh orang banyak, tapi berbagai semboyan tersebut terus dikumandangkan. Bagaimanapun juga, itu sudah menjadi kewajiban rutin para juru tulis pidato sejumlah pejabat.
Toleransi 10 dari 94 Kota Â
Upaya untuk menebarkan spirit toleransi, selain bisa kita temukan di sejumlah lukisan mural di ruang publik, juga bisa kita cermati dari sejumlah kebijakan publik di berbagai wilayah di tanah air. Sebuah lembaga riset, Setara Institute, dari Agustus 2015 hingga Oktober 2015, mencoba menelusuri tingkat toleransi di 94 kota di tanah air. Ada empat variabel utama, yakni regulasi pemerintah, tindakan pemerintah, regulasi sosial, dan demografi agama, yang digunakan untuk mengukur tingkat toleransi beragama dari masing-masing kota yang bersangkutan.