Bagaimana ini? Kepolisian menunggu aturan. Menteri Perhubungan sulit menerbitkan izin. Sementara, jasa ojeg berbasis aplikasi, terus bergulir. Ribuan orang sudah menjadi bagian dari bisnis tersebut. Apakah pihak berwenang akan membiarkan perdebatan tentang legal dan ilegal terkait Go-Jek, GrabBike, dan Blu-Jek, terus berkepanjangan? Ini salah satu cermin iklim usaha di negeri kita. Foto: beritaenam.com dan terbitsport.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Perdebatan tentang legal dan ilegal terkait Go-Jek, GrabBike, dan Blu-Jek, sebenarnya sudah berkepanjangan. Ini menunjukkan, betapa tidak sensitifnya aparat berwenang terhadap ekspansi bisnis dan lemahnya penegakan aturan.
Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Tito Karnavian[1], segera memanggil pimpinan pengusaha ojek berbasis aplikasi. "Saya belum bisa menentukan waktunya. Kapan mereka bisanya, kapan saya pas kosongnya,” ujar Tito Karnavian, saat meresmikan samsat pelayanan pembayaran pajak kendaraan bermotor (PKB), di Kantor Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, pada Jumat (18/9/2015). Kita tahu, Go-Jek sudah full time beroperasi sejak Maret 2014, GrabBike pada Mei 2015, dan Blu-Jek pada September 2015. Artinya, ojek berbasis aplikasi sudah satu tahun lebih beroperasi di DKI Jakarta, tapi aparat berwenang belum berbuat apa-apa. Kapolda Metro Jaya pun nampaknya baru mulai mengambil ancang-ancang, untuk berdiskusi dengan pimpinan pengusaha ojek berbasis aplikasi.
Bisnis Baru vs Pelat Kuning
Aksi bisnis Go-Jek, GrabBike, dan Blu-Jek sudah jelas: ada peluang untuk meraih keuntungan. Sebagai kategori bisnis baru di bidang transportasi, ini tentulah bisa dipandang sebagai terobosan[2]. Bagaimanapun juga, sejauh ini, belum ada aturan yang mengatur sepeda motor sebagai transportasi umum. Indikatornya, pelat nomor sepeda motor hanya ada hitam untuk pribadi dan merah untuk instansi pemerintah, dalam konteks kepemilikan. Pihak berwenang belum pernah mengeluarkan pelat kuning untuk sepeda motor, sebagaimana halnya pelat kuning untuk bis, metro mini, mikrolet, taksi, dan bajaj.
Atas dasar itulah, salah satunya, perdebatan tentang legal dan ilegal bergulir[3], terkait penggunaan sepeda motor untuk transportasi publik. Meski jauh sebelumnya sudah ada ojek pangkalan alias ojeg non-aplikasi, perdebatan tersebut tidak muncul ke permukaan. Aparat berwenang pun nyaris tidak bereaksi apa-apa terhadap mereka. Bahkan, Kapolda Metro Jaya sudah berganti beberapa kali, tak ada seorang pun yang berniat memanggil para pengojek pangkalan. Kalaupun ada razia sepeda motor, konteksnya tidak ada kaitannya dengan transportasi publik.
Kenapa aparat berwenang selama ini tidak bereaksi terhadap ojek pangkalan? Kalau secara skala, jumlah mereka juga banyak. Di Jakarta saja, hampir di setiap mulut gang, ada pangkalan ojek. Hampir di setiap pintu keluar perkantoran, juga ada pangkalan ojek. Kalau secara meresahkan, ojek pangkalan juga sudah meresahkan sejak dulu. Lihatlah di sejumlah tempat, bagaimana ojek pangkalan sudah mengkapling trotoar serta menyita badan serta bahu jalan, untuk pangkalan mereka[4]. Secara kriminal, tak kurang banyaknya ojek pangkalan yang berurusan dengan kasus kriminal[5].
Jadi, apa dan kenapa kini sampai seorang Kapolda Metro Jaya bereaksi terhadap para pengojek? Kenapa Tito Karnavian segera memanggil pimpinan pengusaha ojek berbasis aplikasi? Alasannya jelas: ada potensi uang di sana. Eits, mungkin ada yang menduga bahwa aparat akan minta setoran dari mereka. Tak usah menduga-duga, bukankah aparat berfungsi menegakkan aturan? Tapi, aturan yang mana yang akan ditegakkan aparat? Juga, aturan apa yang sudah dilanggar Go-Jek, GrabBike, dan Blu-Jek?
Kontradiktif Terkait Ekspansi