Bila kita cermat menyimak pernyataan Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Tito Karnavian mereka intinya jangan terlalu ekspansif dulu, sambil menunggu aturan, kita tahu bahwa aturan yang mengatur penggunaan sepeda motor untuk transportasi publik, sesungguhnya belum ada. Mungkin sudah ada aturan yang bersifat umum tapi relevansinya rendah, bila diterapkan pada bisnis seperti Go-Jek, GrabBike, dan Blu-Jek. Tito Karnavian nampaknya tak hendak bertindak serampangan. Karena itulah, ia berencana mengundang pimpinan pengusaha ojek berbasis aplikasi tersebut, untuk berdiskusi dengan mereka.
Meski demikian, ada yang kontradiktif. Di satu sisi, Tito Karnavian melarang agar Go-Jek, GrabBike, dan Blu-Jek jangan terlalu ekspansif, tapi di sisi lain aparat berwenang mengizinkan pengusaha ojek berbasis aplikasi menggelar rekruitmen besar-besaran. Go-Jek, misalnya, mengadakan rekruitmen massal di Hall A Stadion Basket, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat, pada Selasa (11/8/2015) hingga Jumat (14/8/2015). Setiap hari, pendaftar diperkirakan 4.000 orang. Pada saat yang sama, pada Rabu (12/8/2015), GrabBike, juga melakukan aktivitas serupa di kawasan yang sama, di Plaza Barat, Gelora Bung Karno. Meski kuota pelamar hanya 2.500-3.000 orang, pendaftar mencapai 5.000 orang.
Logikanya, rekruitmen besar-besaran dan massal tersebut, pastilah dilengkapi dengan izin pihak kepolisian. Apalagi pelaksanaannya di tempat umum serta melibatkan ribuan orang. Jadi, tidak mungkin pihak kepolisian tidak mengetahuinya. Tapi, kenapa ekspansi massal tersebut diizinkan? Setidaknya, ini menunjukkan bahwa sikap kepolisian masih mendua dalam menghadapi Go-Jek, GrabBike, dan Blu-Jek. Dan, itu makin mempertegas realitas bahwa aturan yang mengatur penggunaan sepeda motor untuk transportasi publik, sesungguhnya belum ada.
Bagaimana dengan Kementerian Perhubungan? Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan[6], menilai, legalitas terhadap Go-Jek, GrabBike, dan Blu-Jek sulit dilakukan. Kenapa? “Kita tidak bisa menerbitkan izin sepeda motor pelat kuning, karena dari segi safety, itu sudah tidak mungkin,” ujar Ignasius Jonan, dalam seminar transportasi yang dihelat di Indonesia International Motor Show (IIMS) 2015 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (20/8/2015). Nah, bagaimana ini? Kepolisian menunggu aturan, sementara Menteri Perhubungan sulit menerbitkan izinnya.
Perdebatan, Pembiaran, Ketidaksiapan
Apa yang terjadi dan apa yang dihadapi pengusaha Go-Jek, GrabBike, dan Blu-Jek tersebut, menunjukkan kepada kita salah sisi dunia usaha di Indonesia. Sudah satu tahun lebih aktivitas bisnis tersebut berlangsung, tapi hingga kini belum ada solusinya, dalam konteks perizinan. Apakah pihak berwenang akan membiarkan perdebatan tentang legal dan ilegal terkait Go-Jek, GrabBike, dan Blu-Jek, terus berkepanjangan? Ini tentulah mencerminkan kondisi kesehatan iklim usaha di negeri kita.
Sebentar lagi, setelah pasar Asean benar-benar terbuka, barangkali akan banyak jenis usaha, yang aturan mainnya belum kita miliki[7]. Atau, bahkan jenis usaha tersebut akan bertabrakan serta tumpang-tindih dengan aturan yang sudah ada. Bagaimana pihak berwenang akan menyikapinya? Akankah aparat berwenang juga akan membiarkan perdebatan tentang legal dan ilegal berkepanjangan? Atau, akan membuang-buang waktu dalam ketidakpastian, hingga menahun seperti pada bisnis Go-Jek, GrabBike, dan Blu-Jek?
Dalam konteks ini, ada sejumlah kontradiksi. Di satu sisi, pemerintah berusaha keras mendorong tumbuhnya aktivitas usaha untuk menggerakkan roda perekonomian, tapi di sisi lain support legalitas dari pemerintah masih keteteran. Di satu sisi, pemerintah membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya investasi asing, tapi di sisi lain pemerintah belum siap dengan perangkat aturannya. Di satu sisi, pemerintah sibuk mencari objek pajak, di sisi lain ada potensi pajak di depan mata eh dibiarkan keleleran sampai setahun lebih.
Sejumlah paradoksal di atas, menunjukkan ketidaksiapan pemerintah mengelola potensi bisnis, yang jelas-jelas berpotensi mendatangkan pemasukan kepada negara. Aktivitas bisnis membutuhkan kepastian, memerlukan legalitas. Pemerintah sebagai pemegang otoritas regulasi, adalah pihak yang berwenang akan hal tersebut. Atas dasar legalitas-lah pemerintah menjaga aktivitas bisnis, agar berjalan sebagaimana mestinya. Nah, dalam konteks bisnis Go-Jek, GrabBike, dan Blu-Jek, legalitas apa yang menjadi pegangan pemerintah?
Jakarta, 19 September 2015