Diah Haerani, Kepala SMA Negeri 3 Depok, Jawa Barat, dan petikan berita dari print.kompas.com edisi Sabtu, 11 Juli 2015. Ketegasan Diah Haerani menegakkan mekanisme penerimaan murid baru di sekolah yang dipimpinnya, patut kita apresiasi. Sekolah adalah tempat persemaian bagi nilai-nilai kejujuran, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Foto: sman3depok.sch.id dan print.kompas.com
Sekolah Negeri Favorit menjadi incaran banyak siswa. Juga, menjadi ladang bisnis mereka yang menamakan diri Program Indonesia Pintar, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Wartawan. Integritas Kepala Sekolah dipertaruhkan dan pengawasan publik harus digalakkan.
Program Indonesia Pintar vs Ketidakjujuran
Ketegasan, juga keberanian, untuk menegakkan mekanisme yang sudah digariskan, memang seharusnya dimulai dari institusi pendidikan. Bukankah lembaga pendidikan merupakan tempat yang efektif untuk menyemaikan nilai-nilai kejujuran? Secara kelembagaan, Program Indonesia Pintar dan Kemdikbud, sudah sepatutnya melakukan penelusuran secara sungguh-sungguh akan hal ini. Apakah sejumlah orang itu adalah orang-orang resmi kelembagaan atau para begundal yang memanfaatkan penerimaan murid baru sebagai ladang bisnis percaloan?
Penelusuran tersebut bukan hanya dalam konteks menjaga kredibilitas lembaga tapi sekaligus menjadi upaya untuk membersihkan institusi pendidikan dari praktik ketidakjujuran. Apa yang sudah ditegakkan Diah Haerani, setidaknya menjadi penguat bagi kepala sekolah yang lain, agar tak mudah menyerah menghadapi berbagai pihak yang membawa-bawa nama Kemdikbud untuk merusak kejujuran di dunia pendidikan. Di era transparansi sekarang, bukan zamannya lagi menggunakan suatu institusi seperti kementerian untuk menekan institusi lain yang berada di bawahnya.
Memang, dunia pendidikan kita belum sepenuhnya bersih dari praktik ketidakjujuran[2]. Ridwan Kamil, Walikota Bandung, Jawa Barat, mencatat, setidaknya ada tiga masalah pendidikan yang masih terjadi di wilayahnya, yang harus diselesaikan tahun ini. Di Balai Kota Bandung, pada Senin (6/7/2015), Ridwan Kamil menyebutkan satu per satu: penyalahgunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), jual beli nilai bimbingan belajar, dan penyalahgunaan domisili tempat tinggal.
Ia menduga, ada warga yang tiba-tiba pindah Kartu Keluarga (KK) ketika musim penerimaan murid baru tiba. Mereka sengaja pindah ke lokasi sekolah-sekolah favorit. Ini terkait dengan rayonisasi[3]. Semua itu adalah beberapa contoh praktik ketidakjujuran yang melingkupi institusi pendidikan. Bila kepala sekolah dan guru-guru tidak memiliki ketegasan serta keberanian seperti yang sudah ditunjukkan Diah Haerani, tentulah praktik ketidakjujuran tersebut akan terus berlangsung, dari tahun ke tahun.
LSM dan Wartawan vs Ketidakjujuran
Sri Eningsih, Kepala SMA Negeri 1 Bogor, Jawa Barat, juga mengalami hal yang hampir serupa dengan Diah Haerani. Bedanya, Sri Eningsih berhadapan dengan orang-orang yang mengaku pegiat lembaga swadaya masyarakat dan wartawan. Mereka meminta Sri Eningsih untuk menerima sejumlah anak sebagai siswa baru di sekolah tersebut. Apabila menolak, mereka akan menuntut sekolah, karena dinilai telah mengabaikan hak anak untuk mendapat pendidikan.
Pihak yang berwenang atas lembaga swadaya masyarakat dan wartawan, tentulah patut menelusuri peristiwa tersebut. Sebagaimana halnya dengan Kemdikbud, pihak-pihak yang berwenang sudah seharusnya turun-tangan secara aktif. Tidak pada tempatnya untuk berkilah dengan mengatakan, kami belum menerima laporan. Atau, kami masih menunggu laporan. Pernyataan-pernyataan kuno macam itu, sudah waktunya ditinggalkan.