Foto kiri, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, berfoto bersama siswa SMK Negeri 27, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Senin (13/4/2015). Mereka berfoto bersama sebelum melaksanakan Ujian Nasional (UN). Foto kanan, puluhan siswa mengikuti proses belajar komputer di laboratorium komputer yang berjumlah 40 unit di SMA Negeri 34, Pondok Labu, Jakarta Selatan, Jumat (6/3/2015). Foto: print.kompas.com dan kompas.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Pemda DKI Jakarta, mulai tahun ajaran Juni 2015 ini, menggratiskan biaya pendidikan[1]. Ini berlaku untuk semua murid di seluruh sekolah menengah tingkat atas yang berstatus negeri di wilayah DKI Jakarta. Tiap bulan, Pemda DKI menanggung biaya operasional Rp 400.000 per siswa.
Kebijakan Pemda DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama ini, patut diapresiasi. Suwarna, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat SMA Negeri 78, Kemanggisan, Jakarta Barat, memberikan rincian biaya yang ditanggung Pemda DKI Jakarta tersebut: siswa dibebaskan dari berbagai kutipan, seperti uang pembangunan, uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), uang buku, uang praktik, dan biaya operasional lain. Artinya, yang ditanggung orangtua murid hanya biaya personal siswa, seperti seragam dan alat tulis yang digunakan sehari-hari.
Prestasi, Sinergi Orangtua dengan Anak
Apa yang dilakukan Pemda DKI Jakarta ini adalah bagian dari upaya untuk meringankan beban orangtua siswa. Kita tahu, beban yang harus ditanggung orangtua untuk membiayai hidup di Jakarta, tidaklah ringan. Karena itu, para orangtua berusaha keras agar anak mereka bisa masuk ke sekolah negeri, yang biayanya relatif lebih rendah dibanding sekolah swasta. Dengan pembebasan biaya sekolah tersebut, tentu sekolah negeri makin terjangkau oleh banyak warga.
Dengan sendirinya, persaingan siswa untuk masuk sekolah negeri pun kian ketat. Mereka yang diterima, hanya yang memiliki nilai ujian akhir tinggi, sesuai dengan standar yang sudah ditentukan pihak sekolah. Dalam konteks ini, daya tampung sekolah merupakan faktor yang dominan. Di sisi lain, proses seleksi tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari implementasi hakekat pendidikan itu sendiri, yaitu memacu siswa agar sungguh-sungguh belajar, agar lulus dengan nilai yang baik.
Kesungguhan dalam belajar, menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan siswa. Dalam hal ini, peran orangtua tentulah sangat memengaruhi. Orangtua yang sungguh-sungguh mendampingi anak mereka dalam belajar, besar kemungkinan akan mendorong sang anak untuk berprestasi. Nah, dengan prestasi itu, sang anak akan leluasa memilih serta memasuki sekolah negeri, yang dengan sendirinya juga akan mengurangi beban biaya yang harus ditanggung orangtua.
Dengan demikian, korelasi antara biaya pendidikan dengan beban biaya yang harus ditanggung orangtua, sangat erat kaitannya dengan bagaimana orangtua membangun sinergi dengan anak mereka. Anak yang nilainya bagus, tentulah akan memiliki banyak peluang untuk menggapai cita-citanya. Dalam hal ini terkait dengan memilih sekolah yang diinginkan. Bukankah pendidikan sang anak merupakan tanggung jawab orangtua? Inilah hakekat pendidikan yang kerap digaungkan para ahli.