Jika pemaparan publik tentang Neolib Versi Akademisi vs Neolib Versi Penguasa tersebut sudah terjadi, maka para profesional dari berbagai bidang bisa melanjutkan dengan pemaparan publik Neolib Versi Profesional. Di forum tersebut, bisa dipaparkan, bagaimana sejumlah profesional, sesuai dengan bidang masing-masing, mencermati kebijakan Joko Widodo dalam konteks neolib. Misalnya, profesional di bidang investasi, profesional di bidang industri, dan profesional di bidang ekspor-impor.
Forum profesional ini tentu akan memberikan pemaknaan yang lebih aplikatif, lebih terapan, karena mereka terlibat secara langsung dari rangkaian kebijakan ekonomi Joko Widodo. Ini akan menjadi sebuah proses pembelajaran bagi masyarakat kampus, bagaimana seperangkat teori menjawab serangkaian realitas aktivitas perekonomian. Dalam konteks ilmu pengetahuan di kampus dan dalam konteks aktivitas ekonomi di lapangan, toh sama-sama bermuara pada kesejahteraan rakyat, pada kebangkitan bangsa ini.
Apalagi bila mengingat, jumlah profesional yang lulusan perguruan tinggi luar negeri, cukup banyak yang berkiprah di berbagai bidang di tanah air. Pemahaman mereka akan konsep neoliberalisme, barangkali berbeda dengan pemahaman profesional yang lulusan kampus dalam negeri. Ini setidaknya dipengaruhi oleh konsep kurikulum yang berbeda antara satu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi lainnya. Ada penajaman serta penekanan pada aspek-aspek tertentu, terkait dengan nilai-nilai filosofi yang dikembangkan di kampus yang bersangkutan.
Pemaparan kaum profesional ini, juga akan berkontribusi pada penajaman kurikulum, khususnya di tingkat perguruan tinggi dalam negeri. Karena, derasnya arus perubahan di tingkal global, nyaris tidak ada lini kehidupan dalam bernegara yang tidak tersentuh oleh arus perubahan tersebut. Bagaimana kaum profesional mengadaptasikan arus perubahan global tersebut dalam bidang masing-masing? Bagaimana mereka meramunya dalam konteks keindonesiaan?
Sejak Maret 2015, Rp 20 Triliun Capital Outflow
Luhut Pandjaitan menegaskan, tak ada satu pun program pemerintah berkiblat pada paham ekonomi neoliberal. Program Jokowi, tambah dia, justru pro-kepentingan rakyat. Luhut boleh saja mengklaim demikian. Nyatanya, Tajuk Rencana print.kompas.com pada Rabu (10/06/2015), Tekanan terhadap Saham dan Rupiah, mencatat bahwa, arus modal keluar Indonesia sejak awal Maret 2015, sudah mencapai Rp 20 triliun, jauh melampaui arus modal masuk Indonesia.
Selain itu, nilai tukar rupiah juga terus menukik ke level terendah, sejak krisis finansial tahun 1998. Rupiah menjadi salah satu mata uang berkinerja terburuk di Asia. Inikah hasil program pro-kepentingan rakyat yang dimaksud Luhut Pandjaitan? Kompas.com pada Rabu, 1 April 2015 | 14:44 WIB mencatat, Harga Komoditas Melemah, Daya Beli Petani Turun. "Kecepatan naiknya harga untuk kebutuhan sehari-hari lebih tinggi. Artinya, petani itu kalau menjual, naiknya tidak tinggi, tapi kalau sudah di pasar naiknya tinggi. Mereka kan harus beli ke pasar juga untuk kebutuhan hidupnya," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, dalam paparan bulanan BPS, di Jakarta, pada Rabu (1/4/2015).
Itukah hasil program pro-kepentingan rakyat yang dimaksud Luhut Pandjaitan? Rakyat barangkali tidak begitu paham, apa itu neolib dan apa itu pro-kepentingan rakyat. Yang mereka alami sehari-hari, sebagaimana diungkapkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, harga-harga di pasar naiknya tinggi. Ongkos angkutan ke pasar juga naik. Harga makanan dan minuman juga naik. Mau tak mau, anak-anak sekolah juga minta kenaikan uang jajan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui bahwa ekonomi Indonesia memang bermasalah. http://www.kompasiana.com/issonkhairul/kalla-akui-ekonomi-indonesia-bermasalah-pemerintah-genjot-investasi_55790082a623bdeb67175736
Jakarta, 18 Juni 2015