Ini sketsa Stasiun Kereta Api Pasar Senen, Jakarta Pusat. Sketsa keren ini karya Jatmika Jati. Saya menemukannya di flickr.com. Di bawah sketsa ini, Jatmika Jati menulis: sesaat sebelum pulang menuju Kebumen dengan menggunakan Kereta Api Bogowonto, kebetulan masih ada waktu sekitar 30 menitan, aku gunakan untuk membuat sketsa ini. Foto: flickr.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Secara pribadi, saya tidak mengenal Jatmika Jati. Tapi, ia telah menunjukkan kepada kita, bagaimana ia mengelola waktunya yang sekitar 30 menitan itu untuk berkarya, menciptakan sketsa yang keren itu. Ini inspirasi untuk kita, untuk mengelola waktu dengan sebaik-baiknya.
Stasiun bagi Jatmika Jati, mungkin juga bagi kita, adalah tempat yang inspiratif. Ada ribuan kali perpisahan telah terjadi di sana. Ada yang diiringi tetesan air mata, ada pula tangisan yang disembunyikan dalam pelukan. Selain itu, di stasiun, juga telah terjadi ribuan pertemuan. Ada yang dibarengi dengan gelak-tawa, ada pula yang melengkapi pertemuan dengan senda-gurau. Seorang sahabat saya pernah bergumam, ”Stasiun adalah tempat yang pedih sekaligus inspiratif.”
Lalu-lintas Ide, Lalu-lintas Gagasan
Lalu-lintas kereta dan hilir-mudik manusia di stasiun, sama halnya dengan lalu-lintas gagasan di sejumlah kepala. Semua terpulang kepada kita, bagaimana kita memaknainya. Bagaimana kita mewujudkannya dalam karya. Jatmika Jati mengungkapkannya melalui sketsa. Para penulis tentulah mengekspresikannya melalui tulisan. Kendala pasti ada. Hambatan tentulah tak terhindarkan. Apakah segala kendala serta segenap hambatan membuat kita berhenti berkarya? Membunuh ide yang ada di kepala? Mematikan gagasan yang ada? Menjadikan kita berhenti menulis?
Budiman Tanoeredjo mencoba menjawabnya. Pemimpin Redaksi Harian Kompas itu, pada Kamis (28/5/2015) siang menjelang sore, berdiri sekitar satu langkah di depan saya. ”Ide menjadi penting, gagasan-gagasan harus terus dihidupkan, meski kita berhadapan dengan orang-orang yang tidak suka membaca dan orang-orang yang tidak suka menulis. Gagasan harus terus disuarakan, baik melalui teks, baik melalui video, baik melalui broadcast,” ujar Budiman Tanoeredjo sepenuh hati.
Ia mengungkapkan hal tersebut dalam konteks Pendidikan untuk Transformasi Sosial, yang menjadi tema diskusi hari itu. Romo M. Sastrapratedja dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Retno Listyarti dari Federasi Serikat Guru Indonesia, tampil sebagai pembicara. Diskusi itu sendiri berlangsung di Gedung Kompas Gramedia, Jl. Palmerah Barat, tepatnya di lantai 7, satu lantai di atas area kerja Kompasiana.
Secara pribadi, saya tidak mengenal Budiman Tanoeredjo. Dalam beberapa kesempatan, kami memang pernah beberapa kali berbincang, dalam konteks aktivitas jurnalistik. Apa yang ia ungkapkan di atas, agaknya patut kita camkan. Menjadi bahan pemikiran, juga menjadi inspirasi dalam berkarya. Karena, kita adalah bagian dari sistem pendidikan, yang tiada henti menyuarakan gagasan melalui tulisan di Kompasiana.
Ini dua tulisan Pepih Nugraha di Kompasiana, yang setidaknya menunjukkan kepada kita, bagaimana ia mengelola waktu untuk berkarya, untuk menulis. Waktu memang terbatas. Kesibukan memang bertumpuk. Tapi, Pepih Nugraha telah menginspirasi kita, bagaimana menyiasati segenap keterbatasan waktu tersebut. Foto: kompasiana.com
Kontribusi untuk Dunia Literasi
Apa yang diungkapkan Budiman Tanoeredjo, tentulah menyemangati kita semua. Sekecil apa pun ide itu, sesederhana apa pun gagasan itu, kita bisa menuliskannya di sini. Setidaknya, kita telah turut berkontribusi bagi perkembangan dunia literasi di tanah air. Menurut Menteri Pariwisata, Arief Yahya, kontribusi acara literasi sebagai bentuk implementasi Ekonomi Kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih tergolong rendah, hanya 8 persen. Itu ia ungkapkan saat berkunjung ke Indonesia International Book Fair (IIBF) 2014 pada Selasa (4/11/2014), akhir tahun lalu.
Prihatin, tentu saja iya. Tapi, keprihatinan itu hendaknya kita hadapi dengan semangat menulis. Apa yang sudah ditunjukkan Pepih Nugraha, yang beberapa waktu lalu menulis untuk Kompasiana dari ketinggian 37.000 meter di atas permukaan laut, dalam perjalanan tugasnya dari Jakarta ke Makassar, setidaknya menginspirasi kita, bagaimana mengelola waktu di perjalanan dengan menulis. Sebagaimana kita tahu, Jakarta-Makassar membutuhkan waktu tempuh 2 jam melalui udara.
Dan, Pepih Nugraha mengisinya dengan menulis. Demikian pula halnya ketika ia diwawancara Syifa Annisa, mahasiswi penderita glukoma dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) beberapa waktu lalu. Wawancara tersebut ditujukan untuk kepentingan skripsi sang mahasiswi. Pepih bukan hanya menyediakan waktunya untuk diwawancara tapi sekaligus memanfaatkan pertemuan tersebut untuk mewawancarai sang mahasiswi. Kemudian, menuliskannya di Kompasiana.
Kedua buku ini berisi kumpulan tulisan Bondan Winarno dari rubrik Kiat yang hadir tiap minggu di Majalah Tempo. Isinya tentang berbagai hal yang terkait dengan manajemen, marketing, dan advertising. Sensitivitas Bondan terhadap peristiwa keseharian, yang kemudian diolahnya menjadi tulisan yang bernas dan cerdas, sangat terasa di kedua buku ini. Asyik dinikmati dan inspiratif. Foto: geraibukubekas.blogspot.com
Melatih kemudian Terlatih
Apa yang dilakukan Pepih Nugraha dalam menulis, memang bukan hal baru. Bondan Winarno adalah sosok lain yang juga patut kita sebut di sini. Pada masa mengasuh rubrik Kiat di Majalah Tempo, Bondan Winarno nyaris tak pernah absen menulis tiap minggu. Isinya tentang berbagai hal yang terkait dengan manajemen, marketing, dan advertising. Padahal, di masa itu, Bondan memiliki seabreg aktivitas, yang bahkan seringkali membuatnya jarang berada di tanah air.
Tapi, pembaca tetap bisa menikmati tulisannya tiap minggu, tanpa absen. Kenapa? Karena, bagi Bondan, menulis sudah hampir merupakan kebiasaan sehari-hari. Ia bisa menulis di mana saja, di pesawat udara, di mobil, atau bahkan di toilet. Ini memang memerlukan latihan, antara lain, melatih sensitivitas. Sesuatu yang nampak biasa bagi orang lain tapi sebaliknya bisa menjadi inspirasi bagi penulis yang sensitif untuk kemudian diolah menjadi tulisan.
Sensitivitas Pepih Nugraha tergelitik, karena reaksi Syifa Annisa saat ia salami di seminar tentang Bauksit di Hotel Peninsula, tidak sebagaimana pada umumnya. Itulah sebabnya, Pepih menyerobot mewawancarai Syifa, sebelum diwawancarai. Pepih mengolah glukoma yang diderita Syifa dengan spiritnya untuk menjadi sarjana. Sensitivitas tersebut tentu tak datang tiba-tiba. Kesediaan untuk melatih diri melalui proses yang terus-menerus, akan menjadikan kita terlatih dengan sendirinya.
Keterlatihan inilah yang membuat kita mampu menulis di mana saja dan kapan saja. Memang, adakalanya kita kehilangan mood untuk menulis. Adakalanya menulis terasa jadi mekanis. Dalam istilah Pepih Nugraha, kehilangan feel saat menulis. Situasi yang demikian sebenarnya alarm yang mengingatkan kita bahwa asupan bacaan mulai berkurang. Karena, korelasi antara membaca dan menulis, ibarat denyut nadi dan detak jantung.
Jakarta, 3 Juni 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H