Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Her Suganda: Tradisi Menulis, Tradisi Berguru, dan Tradisi Jurnalis

20 Mei 2015   11:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:48 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_366654" align="aligncenter" width="697" caption="Her Suganda memiliki dedikasi yang tinggi di dunia penulisan. Setelah pensiun dari Harian Kompas tahun 2002, Her Suganda masih tetap energik. Dia menulis tujuh buku. Buku terbarunya, Jejak Soekarno di Bandung (1921-1934) diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada 27 April 2015. Tak sampai sebulan setelah itu, pada Senin (18/5/2015) pukul 23.40 WIB, Her Suganda wafat di usia 73 tahun di Bandung, Jawa Barat. Selasa (19/5/2015) pagi, Her Suganda dimakamkan di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Foto: kompas.com"][/caption]

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Di era Media Online dan Sosial Media seperti saat ini, tiap orang bisa menjadi juru warta, yang dalam sekejap bisa diakses publik dunia. Akurasi dan klarifikasi menjadi nomor sekian, karena yang utama adalah kecepatan posting. Mungkin juga banyak-banyakan posting. Arus informasi memang telah berubah ....

Tapi, Robert Adhi KSP, yang menulis Obituari Her Suganda di print.kompas.com, mencoba mengingatkan kita akan tradisi dalam menulis, sebagaimana yang dibangun serta ditegakkan oleh Her Suganda (73), yang baru saja wafat Senin (18/5/2015) pada pukul 23.40 WIB. Mantan wartawan Harian Kompas itu sempat dirawat di Rumah Sakit Immanuel, Bandung, Jawa Barat, karena mengalami komplikasi pembengkakan jantung serta infeksi paru-paru dan ginjal. Selasa (19/5/2015) pagi, Her Suganda dimakamkan di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.

Tradisi Menulis Hingga Akhir

Her Suganda menunjukkan kepada kita bahwa menjadi wartawan bukanlah sebuah pekerjaan, tapi sebuah kehidupan. Artinya, meski secara struktur, ia tidak lagi bekerja di Harian Kompas, tapi dedikasinya untuk mencerdaskan publik melalui tulisan, tetap berkelanjutan. Bila dulu medianya adalah suratkabar, maka setelah pensiun dari struktur, ia beralih ke media buku. Bahkan, hingga akhir hayatnya, ada 7 buku karyanya yang sudah diterbitkan.

Buku terakhirnya, Jejak Soekarno di Bandung (1921-1934), terbit pada 27 April 2015, hanya 22 hari sebelum ia wafat. Tak banyak wartawan yang masih terus menulis, setelah pensiun dari struktur media. Padahal, negeri ini memiliki cukup banyak wartawan handal, dengan segudang pengalaman, tapi entah kenapa sebagian besar undur diri dari dunia literasi bersamaan dengan undur dirinya mereka dari struktur media.

Di era orde lama, mereka yang terjun ke dunia pers adalah mereka yang memang sebelumnya sudah bergulat di bidang penulisan. Karena itu, meskipun mereka sudah tidak aktif di pers, mereka tetap menulis. Sebutlah Rosihan Anwar, yang tutup usia pada 14 April 2011, meskipun media yang menaunginya sudah berhenti terbit dan ia sudah tidak terikat lagi secara struktur dengan media, toh Rosihan Anwar tetap aktif menulis. Bahkan, pada detik terakhir hayatnya, ia sedang merampungkan memoar kehidupan cintanya dengan sang istri dengan judul Belahan Jiwa, Memoar Rosihan Anwar dengan Siti Zuraida.

Karena itu, apa yang sudah ditunjukkan oleh Her Suganda, wartawan yang berasal dari generasi setelah Rosihan Anwar, setidaknya menjadi inspirasi bagi kita semua, dalam konteks kontribusi informasi kepada publik. Her Suganda lahir pada 6 Juni 1942. Dia memulai karier jurnalistiknya sejak tahun 1965. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengingat kata-kata Pramoedya Ananta Toer,”Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Pramoedya Ananta Toer pernah bekerja di Kantor Berita Jepang dan di Balai Pustaka. Meski sudah tidak aktif di pers, bahkan saat berada dalam kungkungan tahanan pun, Pram terus dan terus menulis.

[caption id="attachment_366655" align="aligncenter" width="683" caption="Her Suganda (keenam dari kiri, berdiri, berbaju batik) bersama rekan-rekan wartawan Kompas. Gambar sebelah kiri tersebut, saya crop dari laman print.kompas.com, dari tulisan Robert Adhi KSP, yang diposting Siang | 19 Mei 2015 l 14:07 WIB. Gambar kanan, salah satu buku karya Her Suganda, Wisata Parijs van Java, yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas, Januari 2011. Foto: print.kompas.com dan koleksi pribadi"]

14320943361875164837
14320943361875164837
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun