[caption caption="Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016, bukan hanya momentum untuk para astronom, komunikator astronomi, astronom amatir, dan wisatawan pemburu gerhana. Tapi, juga relevan bagi ahli ilmu falak. Gerhana adalah momentum yang bisa digunakan untuk memeriksa ulang akurasi perhitungan posisi bulan, untuk menentukan awal bulan dalam kalender hijriah. Itu diungkapkan Hendro Setyanto, anggota Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Pengurus Besar NU, pada Sabtu (20/2/2016). Foto: print.kompas.com"][/caption]Gerhana Matahari Total (GMT) bisa kita saksikan pada Rabu (9/3/2016). Ada 12 provinsi yang dilintasi jalur GMT. Maba adalah daratan terakhir di Indonesia yang dilintasi GMT, dengan durasi waktu terlama bisa kita saksikan, yaitu 3 menit 20 detik.
Di mana Maba? Bagaimana menjangkaunya? Maba mulanya sebuah kecamatan, kemudian ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara. Maba berada di tepi pantai, yang langsung berhadapan dengan lautan Pasifik. Sebagai daratan terakhir dan terlama yang dilalui GMT, maka besar kemungkinan wilayah tersebut akan dijadikan salah satu titik penting oleh mereka yang terkait dengan GMT. Antara lain, para peneliti dari dalam dan luar negeri, juga para jurnalis, tentunya. Pada April 2015 lalu, tim dari Kementerian Pariwisata sudah datang ke sana, menyurvei lokasi untuk pemantauan GMT. Dari hasil deteksi mereka, ada dua lokasi pemantauan yang dinilai strategis, yakni di Maba dan Buli. Kedua lokasi ini berada di Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara.
Jalan Menuju Maba
Pada awalnya, Pulau Halmahera merupakan wilayah Provinsi Maluku. Kemudian, pada (12/10/1999), Provinsi Maluku mekar menjadi dua: Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Beberapa tahun kemudian, pada (23/2/2003), Kota Tidore Kepulauan pun mekar menjadi Kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Halmahera Timur. Nah, Bandara Sultan Babullah yang berada di Kota Ternate, setelah pemekaran, menjadi bagian dari wilayah Maluku Utara. Bandara ini dibangun pada tahun 1970 dan mulai beroperasi pada tahun 1971. Bandara ini menjadi tumpuan transportasi udara seluruh masyarakat Maluku Utara. Hampir semua penerbangan dari dan menuju provinsi lain, ya melewati Ternate.
[caption caption="Suasana jalan utama di Maba, ibu kota Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, pada Jumat (5/2/2016). Area terbuka yang cukup luas, tentu saja memungkinkan kita leluasa mengamati gerhana. Selain dari tengah kota, pengamatan juga bisa dilakukan dari kawasan pantai. Kabupaten Halmahera Timur ini memiliki 27 buah pulau yang begitu indah panoramanya. Foto: kompas.com"]
Adakah alternatif lain? Ada. Melalui jalur laut dan darat. Dari Pelabuhan Kotabaru, Ternate, kita bisa menyeberang menuju Sofifi, ibu kota Provinsi Maluku Utara. Dengan speedboat, tarifnya sekitar Rp 50.000, dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. Speedboat ini tersedia dari jam 6 pagi sampai jam 21.00 Waktu Indonesia bagian Timur (WIT). Atau, dengan menggunakan kapal feri dari pelabuhan feri Bastiong. Tarifnya, lebih murah, hanya sekitar Rp 20.000, dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Jadwal keberangkatan feri, 2-3 kali per hari, jam 06.00, jam 11.00, dan jam 15.00 WIT. Dengan beberapa alternatif jadwal dari Ternate ke Sofifi tersebut, kita bisa leluasa menentukan jadwal keberangkatan dari Soekarno-Hatta Jakarta.
Dari Sofifi ke Buli dan Maba, kita bisa menggunakan mobil carteran. Ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan. Misalnya, mencarter mobil sekali jalan atau mencarter mobil untuk beberapa hari, sesuai kebutuhan. Sebagai gambaran, dengan transportasi darat tersebut, Sofifi-Maba yang berjarak sekitar 271 kilometer itu, bisa kita tempuh sekitar 5-6 jam perjalanan. Kondisi sebagian jalanan relatif baik, sebagian lagi agak rusak. Supir mobil carteran di kawasan sana rata-rata piawai mengendarai mobil. Mereka sudah terbiasa. Bila merasa ia nyetir terlalu ngebut atau kurang nyaman, ya tentu perlu diingatkan agar sang supir berhati-hati.
[caption caption="Harian Kompas pada Selasa (9/2/2016) melansir, hampir 500 juragan bagan penangkap ikan teri yang beroperasi di Teluk Buli, bangkrut. Ribuan anak buah kapal dan buruh pangggul ikan di darat juga kehilangan pekerjaan. Sejak tahun 2000, habitat ikan teri di Teluk Buli mulai hilang. Teluk yang berada di sekitar lokasi penambangan itu, diduga sudah tercemar. Setelah tambang ditutup pada awal 2014, perbaikan kawasan bekas tambang itu belum dilakukan. Warga meminta pemerintah segera mereboisasi kawasan itu. Foto: beritalingkungan.com"]
Selain Maba, Buli juga merupakan lokasi pemantauan GMT yang dinilai strategis. Jarak antara Maba-Buli, sekitar satu jam perjalanan dengan mobil. Artinya, dari Sofifi, kita bisa memilih: ke Maba dulu, baru kemudian ke Buli atau sebaliknya. Kondisi jalan Maba-Buli relatif berliku-liku, dengan turunan yang cukup curam. Bagi yang datang dengan pesawat dari Ternate ke Buli, bisa juga memilih Buli sebagai basecamp pemantauan GMT. Area sekitar bandara Buli, barangkali bisa menjadi alternatif pemantauan gerhana. Secara administratif, Buli adalah salah satu dari 7 desa yang termasuk ke dalam Kecamatan Maba. Meski bandara ada di Buli, tapi yang ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Halmahera Timur adalah Maba.
Buli, kita tahu, sesungguhnya adalah sebuah desa yang pernah gemerlap karena menjadi lokasi penambangan bijih nikel. Itu bermula tahun 1997, tatkala masuknya perusahaan tambang nikel ke desa yang berhadapan langsung dengan lautan Pasifik tersebut. Ribuan pendatang yang menjadi pekerja tambang, datang berbondong-bondong ke sana. Perusahaan tambang mengeruk sumber daya alam di perut bumi, pekerja tambang membanting tulang mengais rezeki. Pusat hiburan malam, tumbuh dengan hingar-bingar. Warga setempat, dengan antusias melepas hak kepemilikan lahan mereka. Perusahaan tambang makin rakus, menggerus segala yang ada pada alam. Dan, Teluk Buli pun tercemar akibat penambangan. Ikan-ikan berlarian menjauh, hingga para nelayan mulai kesulitan menangkap ikan.
Bumi Maluku pun bopeng-bopeng karena galian tambang. Kerusakan alam tak terhindarkan. Laut tercemar, hingga merusak kehidupan kaum nelayan. Kemudian, lahir Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara. Intinya, perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan kontrak karya (KK), harus membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral. UU tersebut bertujuan untuk memberi nilai tambah pada hasil sumber daya alam, agar tidak diekspor dalam wujud mentah. Semua harus diproses dulu di tanah air, dalam konteks hilirisasi. Sejumlah perusahaan pemegang IUP dan KK di Buli memilih menutup usaha mereka, daripada melakukan hilirisasi.