Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ziarah

4 Juni 2017   22:50 Diperbarui: 4 Juni 2017   23:04 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: isson khairul

Kita bertemu di stasiun. Bagi saya, ini stasiun akhir, stasiun tujuan. Tapi, bagimu, tidak. Sekilas, saya melihat matamu berkaca-kaca. Ada kesedihan yang terpendam. Saya duduk di peron menanti seseorang yang akan menjemput. Kamu juga duduk di peron yang sama, namun tidak menunggu siapa-siapa. Setelah stasiun berangsur lengang, kamu bergumam: ziarah.

“Saya menziarahi stasiun ini,” gumammu dengan suara sangat pelan, nyaris tak terdengar. “Dua orang tambatan hati saya,” katamu melanjutkan, “saya lepas di stasiun ini dan keduanya tidak pernah kembali. Saya sedih, tapi tidak menyesal. Bagaimanapun juga, saya telah mengasihi mereka sepenuh hati. Tanpa jeda. Dan, sampai kini, saya tidak pernah tahu, apa yang membuat mereka tidak pernah kembali.”

Matamu mulai basah. Sambil menunduk, kamu menyesapnya dengan tisu. Namun, itu tak sanggup meredam sedihmu. Bahkan, turut membuat saya terharu. Alangkah tulus kamu menyayangi mereka. Ketika tak seorang pun dari mereka yang kembali, kamu dengan tulus ikhlas menziarahi stasiun ini. Kamu telah menempatkan kasih sayang di atas kebersamaan. Tanpa memiliki, tanpa menguasai, namun senantiasa merawat rasa tulus itu.

Beberapa kereta melintas. Derunya menggemuruhkan rasa cemas. Saya tak tahu, apakah akan ada seseorang yang akan berbuat setulus kamu? Yang juga akan ikhlas menziarahi stasiun ini, bila di kemudian hari saya tidak kembali? Hembusan angin di peron menggerakkan rambut-rambut halus di keningmu. Saya terpana. Pikiran saya menerawang jauh, melintasi ratusan kilometer rel kereta yang menjalari bumi.

Kamu mengarahkan pandang ke saya, sembari mengulum senyum. Saya malu. Saya merasa kamu tahu apa yang tengah saya pikirkan. Jantung saya berdegup kencang, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri. Saya tidak lagi terharu dengan kisahmu, tapi galau oleh perasaan yang membuncah. Apalagi sorot matamu menyapu permukaan mata saya dengan lembut, disertai dengan senyum yang mengembang di bibirmu.

Saya cemas, mencemaskan diri saya sendiri. Beberapa kereta melintas. Derunya kini terasa lebih menggemuruh. Dengan agak gugup, saya kemasi perangkat elektronik yang ada di genggaman. Juga, koran-koran yang tergeletak di samping. Saya pamit. Saya sungguh tak kuasa meredam gemuruh yang membuncah ini. Dengan langkah terbata, saya bergerak meninggalkan peron. Tapi, saya takut menoleh ke belakang, ke arahmu, karena saya yakin kamu sudah tahu, apa yang bergemuruh di dada saya.

isson khairul –dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 4 Juni 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun