Pria setengah baya itu duduk di halaman masjid. Ia tidak sendiri. Ada beberapa bangku kayu di sana, yang diduduki beberapa pria lainnya. Mereka berbincang santai tentang penantian, menanti tibanya waktu berbuka. "Berbuka itu nikmat," ujar seorang di antara mereka. "Jadi terasa lebih nikmat, karena kita berpuasa, menahan diri," sambung seorang lainnya.
Sejenak hening. Tak ada yang bersuara. "Aku sudah lama menahan diri," gumam seseorang. Beberapa yang lain menoleh ke arah gumamman itu. "Menahan diri untuk bertemu anak. Ia pergi berlayar, entah kapan bisa cuti dan pulang," sambungnya sembari menghela nafas dalam-dalam. Desir angin sore itu menggetarkan daun-daun kering di pelataran masjid, membawa serta percakapan para pria itu ke langit.
Aku ada di antara mereka. Pikiranku jauh melayang, mengenang sosok ayah yang kini telah tiada. Aku juga pernah berlayar, bertahun-tahun mengarungi lautan. Menyinggahi pelabuhan demi pelabuhan. Kini, aku bisa merasakan, betapa dulu ayah tentu juga penuh penantian menunggu aku pulang. Meski ia tidak pernah mengungkapkannya, tapi aku bisa merasakan penantian panjang tersebut.
Sesekali, aku bisa merasakannya dari cerita ibu. Walaupun tidak terlalu gamblang, namun aku cukup paham bagaimana kerinduan seorang ayah pada anaknya. Pernah ketika aku pulang dan mengenakan kaus yang memang aku tinggal di rumah, ibu bergumam bahwa kaus itu dulu juga kerap dikenakan ayah. Aku menghela nafas. Kupandangi pria yang bergumam tadi. Ia hanya menunduk, memainkan ujung sarungnya.
Rasanya ingin memutar waktu, menebus penantian ayah. Aku tiba-tiba merasa disergap rasa bersalah, telah membiarkan ayah dulu menempuh penantian panjang. Sebenarnya, kala itu, aku bisa pulang sekali setahun. Perusahaan tempatku bekerja tentu akan memberi izin. Namun, aku justru memanfaatkan cuti tahunan tersebut untuk berkelana, menjelajah negeri orang. Aku ingin menggapai mimpi-mimpiku.
Kala itu, sungguh, aku tak paham betapa ayah sangat berharap aku pulang. Aku tak habis pikir, kenapa pada masa itu aku tak pernah berpikir sampai ke sana. Padahal, aku sangat dekat dengan ayah. Kami bisa diskusi sampai larut, sampai ibu ngomel, menyuruh kami istirahat. Sungguh, ternyata aku saat itu belum mampu menyelami perasaan ayah. Ia rupanya kehilangan teman untuk diskusi, ketika aku memutuskan untuk pergi berlayar.
Ada risau yang menggumpal. Ada langit yang perlahan meredup, karena matahari sudah semakin condong ke barat. Aku kian hanyut dengan pikiranku sendiri, mengenang sosok ayah yang telah lama pergi. Mengingat, betapa keras kepalanya ia dalam berargumen, tiap kali kami berdiskusi. Merasakan, betapa takjubnya aku pada kisah-kisah perjuangannya menggapai karir dari negara ke negara. Aku iri. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang sudah diraih ayah.
Kuraih lalu kugenggam tangan pria yang bergumam tadi. Aku ingin berkata bahwa aku sungguh bisa merasakan apa yang ia rasakan. Namun, beduk sudah dipukul, suara azan menggema di mana-mana. Waktu berbuka tiba. Penantian puasa hari ini usai. Semua bergegas, menyegerakan berbuka.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 12 Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H