Vonis memang belum jatuh, tapi penjara sudah menantinya. Ia dituntut pidana penjara selama 15 tahun, jika terbukti bersalah. Tinggal menghitung hari, untuk sampai pada keputusan final tersebut. Ia sadar, kecil sekali kemungkinan bisa lolos dari jeratan hukum. Karena, ia juga sadar, ia telah menerima suap sebesar 148.500 dollar AS atau senilai Rp 1,9 miliar. Itu memang bukan angka yang fantastis, karena itu baru sebagian dari total Rp 6 miliar yang dijanjikan sang penyuap.
Yang fantastis, istrinya minta cerai saat ia sedang remuk dalam jeratan pasal demi pasal. "Tapi, saya tidak menyerah," gumamnya kepada diri sendiri. "Kesalahan," gumamnya lagi, "adalah kesalahan. Korupsi adalah korupsi. Saya akan tanggung seluruh akibat perbuatan saya. Saya tidak minta istri saya turut menanggungnya, karena itu saya rela ia minta cerai. Ia kini bebas menentukan nasibnya sendiri."
Dengan tanpa istri, ia pun kini bebas menentukan keputusannya sendiri. Ia merasa tak harus berunding dengan siapa pun. Sungguh, ini sebuah kemerdekaan yang luar biasa, meski secara fisik ia terkurung dalam jeruji besi. Ia tidak pernah merasa semerdeka ini, karena selama dalam perkawinan, ia selalu merundingkan dengan istri, tentang apa pun. Kalau mau dirunut ke belakang, ia merasa lebih banyak mengalah, lebih banyak mengikuti saran sang istri dalam mengambil keputusan.
Termasuk, keputusan untuk menerima suap Rp 1,9 miliar ini. Sebelum memutuskan untuk menerima, mereka berkali-kali mendiskusikannya, bahkan seringkali dengan cara berbisik-bisik di ranjang, menjelang tidur. Ia tahu, istrinya sudah terbuai oleh mimpi-mimpi yang akan ia wujudkan bila uang suap itu sudah di tangan. Meski demikian, ia rela istrinya membebaskan diri dengan minta cerai. Karena, ia sangat sadar, pada akhirnya dirinyalah yang mengambil keputusan untuk menerima suap tersebut.
"Saya ingin menjadi laki-laki sejati," gumamnya lagi. "Hakekat seorang laki-laki itu ada pada tanggung jawab. Tak ada artinya seorang lelaki tanpa tanggung jawab. Ini prinsip, sangat prinsip," gumamnya sambil menyandarkan punggung ke jeruji besi. Namun, sejenak kemudian, ia merasa ditikam oleh gumamnya sendiri. Kalau memang bertanggung jawab, kenapa sampai menerima suap? Bukankah dengan tidak menerima suap, justru seorang lelaki semakin moncer kesejatiannya? Semakin teguh pada tanggung jawabnya pada keluarga?
Syarafnya berputar tujuh keliling. Tikaman batin itu makin menjadi-jadi. Tidak ada lelaki yang tidak ingin membahagiakan keluarganya. Dan, kebahagiaan tidak akan pernah bisa diraih dengan cara-cara instant. Sudah banyak buktinya, uang yang melimpah dengan tiba-tiba, dengan sangat cepat pula menghancurkan sebuah keluarga. Ini menjadi pertanda bahwa kebahagiaan adalah proses, proses kehidupan. Ada yang tahan banting menjalani proses, ada pula yang kemaruk tapi akhirnya tersuruk-suruk.
Ia pun terkapar, ditikam batinnya sendiri. Matanya nanar menatap langit-langit. Bayangan anak bungsunya melintas, seorang gadis remaja yang seharusnya melalui masa remajanya dengan penuh ceria. Apa reaksi teman-temannya? Bagaimana pula sikap pacarnya? Pertanyaan demi pertanyaan berputar-putar di penjuru syarafnya. Ia menarik nafas dalam-dalam, karena tiba-tiba dadanya sesak kekurangan oksigen.
Sejak ditangkap dan ditahan, gadis bungsu itu memang belum pernah menjenguknya. Ia sungguh merindukannya, tapi ia yakin, ia tidak akan tega menerima sorotan mata anak bungsunya itu. Gadis remaja itu terlalu lembut untuk menerima tekanan psikis, tekanan karena ayahnya ternyata seorang koruptor. Dadanya semakin terasa sesak. Alangkah menyakitkan, ketika ia membayangkan anak bungsunya di-bully oleh teman-temannya. Lebih menyakitkan lagi bila sang pacar memutuskan, karena malu punya pacar anak koruptor.
Dengan sekuat tenaga, ia meninju dinding yang sudah beberapa bulan mengungkungnya. Kulit tangannya terkelupas, berdarah. Namun, rasa sakit tidak datang dari sana, tapi dari lubuk hatinya yang paling dalam. Segenap derita yang ditanggung mantan istri dan anak-anaknya, kini terasa bagai air bah menggempur dadanya. Ia tak sanggup, batinnya tak cukup kuat menghadapi semua itu. Matanya kian nanar. Ia pun pingsan, sendirian. Benar-benar sendiri.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
 Jakarta, 10 Juli 2017