Mohon tunggu...
Isra Nabila Harmelia Putri
Isra Nabila Harmelia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Perkenalkan nama saya Isra Nabila Harmelia Putri seorang mahasiswa di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bagaimana Ayah Menyakiti Hatimu?

10 Juli 2024   15:17 Diperbarui: 10 Juli 2024   18:19 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah berpikir bahwa Ayah terlalu menyakitimu? Diruangan yang luas ini, banyak orang berkumpul dengan satu pikiran yang sama, bahwa seorang anak tak pernah berpikir Ayah akan menyakitinya. Namun, benarkah hal itu berjalan sesuai pikiran mereka? Ruangan ini menjadi sebuah bukti bahwa manusia tidak pernah berpikir terlalu jauh. Mereka tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada mereka dan mereka juga tidak memikirkan bahwa Ayah bisa saja menyakitimu. 

Hari ini tepat pada tanggal 12 November, diperingati sebagai Hari Ayah Nasional. Diruangan ini penuh sekali dengan berbagai macam manusia, ada yang masih anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia. Ruangan ini tampak rata antara wanita dan laki-laki. Semua dari mereka berkumpul diruangan ini pada Hari Ayah Nasional bukan untuk merayakannya, namun untuk memahami bagaimana ayah menyakiti mereka. 

Benarkah sebenarnya Ayah menyakiti anak-anak mereka? Benarkah seorang Ayah tega melakukan itu? Apakah ada rasa bersalah dalam diri seorang Ayah? Semua kembali hening, merenungkan masing-masing jawaban yang tepat. Hingga seorang wanita yang duduk dipaling pojok ruangan berdiri dan menatap sekeliling ruangan, air matanya sontak saja jatuh. Pikirnya, terlalu banyak Ayah yang menyakiti anak-anak mereka. Wanita itu kembali menguatkan diri dengan berusaha tersenyum, kembali mengingat wajah Ayahnya dengan sepuntung rokok ditangannya dan wajahnya yang memerah penuh emosi. Rasa sakit sundutan rokok itu masih terasa, kulit tangannya dibakar sang Ayah dengan sepuntung rokoknya. Lalu wajah Ayah yang membuang baju-bajunya juga masih teringat jelas, bagaimana dia melempar baju itu penuh dengan emosi. Lalu, ucapan-ucapan menyakitkan dari Ayahnya masih terdengar jelas. Menyuruhnya jangan kembali, menyuruhnya mati, menyuruhnya menjual diri, dan hal menyakitkan lainnya. 

Seorang lelaki berumur 30an juga berdiri ingin menyampaikan pendapatnya namun sama saja, suaranya tak keluar. Rasa sakit itu sungguh nyata sehingga rasanya seperti mengulang kembali kejadian itu. Lebam pada wajah Ibu, rambut Ibu yang rontok, kaki Ibu yang dipasung, dan kematian Ibu masih menghantui setiap harinya. Itu semua perbuatan keji Ayahnya. Ayahnya tak menyakiti fisiknya, namun Ayah menyakiti mentalnya. Membiarkannya menonton setiap kekejamannya pada Ibu. 

Sambil merenungkan pertanyaan-pertanyaan yang ada membuat banyak dari mereka menangis tersedu-sedu, hal itu membuat mereka memikirkan kembali kejadian-kejadian menakutkan, menyedihkan, dan menyakitkan itu. 

Lanjut ke pertanyaan berikutnya, apakah ada setidaknya rasa kasih sayang pada hati seorang Ayah yang kejam itu? Tangisan mereka semakin kencang melihat tulisan itu di layar depan. Namun, seorang wanita berumur 54 tahun itu dialah satu-satunya yang tampak biasa saja dengan pertanyaan itu. Dia tidak tersenyum tidak juga menangis, wajahnya datar. Pemikirannya kembali pada saat kematian Ayahnya. Senyuman Ayahnya masih sangat terasa jelas di matanya disaat-saat terakhir itu dan ucapan Ayahnya juga masih teringat jelas baginya. "Sehat-sehat, Din. Jangan sering-sering menangis lagi, Ayah sangat tahu Dinda anak yang kuat. Seringlah istirahat, bekerja terus-menerus tidak akan membuatmu bahagia." Apakah itu suatu bentuk kasih sayang atau rasa bersalah seorang Ayah? Itulah yang selalu dipikirkan wanita berumur 54 tahun itu. 

Hingga sampai pada pertanyaan terakhir. Sudahkah kau memaafkan kesalahan Ayahmu? Pertanyaan itu cukup untuk membuat mereka tampak saling saut-menyaut. Banyak dari mereka yang mengangguk, namun banyak juga dari mereka yang menggelengkan kepala. Hingga seorang lelaki berumur 60 tahun berdiri dari duduknya dengan tongkat ditangannya. Kakek tua itu mencoba menarik perhatian seisi ruangan. Dia tersenyum, senyuman yang sangat teduh. Sepertinya kakek inilah satu-satunya senyuman teduh yang ada disini, begitulah pendapat seisi ruangan melihatnya. 

"Nama saya, Mulyono dan umur saya 60 tahun. Sudah terlalu tua untuk bergabung dengan kalian, namun saya disini karena saya merindukan Ayah saya." ucapannya itu cukup menarik perhatian mereka semua. Mereka saling berbisik bahwa tentu saja kakek tua itu adalah bagian dari mereka yang sudah memaafkan kesalahan Ayahnya. 

Mulyono tersenyum kembali mengingat Ayahnya. Walau sudah setua ini, Mulyono masih ingat dengan jelas senyuman Ayahnya dan ucapan-ucapan yang ayahnya ucapkan, serta masih mengingat kejahatan, kesakitan, dan ketakutan yang diberikan Ayahnya padanya. Mulyono bercerita bahwa dia adalah mantan narapina karena dulu membunuh Ayahnya. Kebenciannya yang sangat mendalam pada sang Ayah membuatnya melakukan hal itu. Namun, sudah lewat 30 tahun, pertanyaan Ayahnya pada saat terakhir masih menghantuinya. 

"Aku bukanlah Ayah yang baik, namun bagaimana anakku menyakitiku? Pahamilah Nak, maka kau akan tahu sudah baikkah kau menjadi seorang anak?" 

Pertemuan ini diakhiri dengan pertanyaan yang akan menghantui mereka semua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun