Sebuah kota yang ekslusifÂ
Dari desa, ke kota.
Yogya, satu lembah gemilang yang di kelilingi gunung gemunung, yang telah Beratus tahun berdiri, tempat yang membuat setiap ia yang pernah dan kembali berperjalanan menuju mencari jati dirinya. Akankah sulit menentukan, Apakah sedang pergi atau sedang pulang.Â
Di puncak-puncak, di desa-desa, atau di kota-kota. Yogya, selalu berhasil membius siapa di dalamnya dengan kesejukan, ketenangan nan romantisme suasananya. Yogya seakan-akan menjadi tempat seleksi alam untuk dihuni dan didatangi mereka, siapa yang hari-harinya sibuk dengan keindahan dan cinta.
Tapi tidak dengan kehidupan masyarakatnya, di pelataran jalan, Di kolom jembatan, lihatlah leluhur ku. Negara Hanya jadi bahan candaa. Bukan lagi sibuk dengan kopi, buku, cinta alam, dan kasih sayang sesama manusia, terlalu banyak Orang sibuk dengan dunia pekerjaan nya. Tapi, Begitulah realitas nya. Segala sesuatu materi yang menjadi tolak ukur, "Di jalan ada rumah-rumah di gusur, di stasiun ada pedagang-pedagang diusir, di jembatan ada anak-anak kecil kelaparan, di gunung ada sampah berserakan, di Facebook dan YouTube ada saudara di adu domba dan perang, kamu tidak sedih melihat itu semua ? "
Kalian anak muda ? Merdeka, bergelora, jangan main aman, nanti ada masa sendiri untuk aman "Rayakan muda mu" bangunlah kebiasaan-kebiasaan yang membahagiakan yang baik dari sekarang. Sebelum terlambat. Pendidikan tak lagi menjadi alat perlawanan tapi menjadi alat hegemoni dan menindas, anak muda eksklusif terhadap pemikiran dan ia terjebak pada isu yang dimainkan oleh para Agamawan yang tidak bertanggung jawab. Ia mendiktek dan mendoktrin orang-orang awam, seharusnya sebagai anak muda yang sering didengung-dengungkan sebagai sumpah pemuda mengerti tentang perbedaan dan inklusif terhadap pemikiran, pengetahuan dan perbedaan. Tapi pada umumnya kita masih terjebak dengan informasi yang tidak pernah di eksperimen kan, Hanya menelan mentah-mentah informasi itu tanpa memikirkan apa neraca nya.Â
Anak muda yang ekslusif terhadap sesuatu itu tiada lain adalah anak muda yang terjebak pada pandangan subjektif. Bagaimana anak muda mau terbentuk secara intelektual jika ia ekslusif ? Apakah cukup dengan berkoar-koar di jalan mengatasnamakan masyarakat tapi tidak pernah membangun pondasi lalu lantang meminta keadilan, Kemerdekaan, dan kemaslahatan. Apakah sudah merdeka secara pemikiran ? Bukankah orang merdeka secara individual ia membebaskan pemikiran nya dari belenggu dogmatis ?Â
Bagaimana mau meletakkan suatu keadilan, jika tidak pernah mematangkan diri secara intelektual, spiritual dan sosial ? Bukankah evolusi di mulai dari pribadi ? Lalu kenapa engkau seakan-akan sudah berjalan di atas kebenaran ? Menolak Pengetahuan, menolak pemikiran, dan menolak akalmu ber-evolusi. Tak heran jika negara ini tak maju, tak berkembang, dan tak terbentuk secara pengetahuan dan pemikiran. Karena pada umumnya masih terjebak dengan isu-isu sensitif, mana akal mu ?Â
Apakah itu di sebut sebagai manusia berpikir ? Anak muda, generasi apatis, generasi eksklusif dan anak muda hedonisme. Apakah sebagai anak muda hanya ingin tumbuh dalam pendidikan sekuler ? Atau anak muda yang ingin tumbuh dalam sebuah kultur (Pengetahuan/pemikiran). Bagaimana mau mencintai Nusantara, membangun peradaban dan memiliki ideologi yang jika masih ekslusif ? Bagaimana ? Apakah dengan cara inklusif ? Apakah dengan membaca buku, Berdiskusi, kuliah, sekolah, atau jadi menjadi penegak hukum ?Â
Penulis:Puan kelanaÂ
Yogyakarta, 04 Januari 2025