Mohon tunggu...
Risa Amrikasari
Risa Amrikasari Mohon Tunggu... -

I speak, only if I care.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

The Social Network – Facebook Me Ya! – A Movie Review

14 November 2010   09:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:37 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1289726462902472433

Sebenarnya ini film yang sangat saya tunggu kehadirannya di bioskop saat saya tahu bahwa film ini berkisah tentang seorang billionaire muda terkenal yang sampai saat ini produknya begitu digilai para pengguna internet seluruh dunia, Mark Zuckerberg. Siapa yang tak tahu Facebook di jaman sekarang ini? Tapi bagaimana perjuangan Mark dan timnya saat memulai proyeknya tak semua orang tahu. Tetapi tampaknya meski sebuah aplikasi digilai oleh orang Indonesia, film yang berkisah tentang aplikasi itu sendiri tak terlalu menarik minat penonton karena dalam masa putarnya di bioskop, tak terlalu banyak orang yang menonton.

Menurut berita yang saya baca beberapa waktu lalu, film ini tak mendapat ‘endorsement’ dari Mark sendiri meski berkisah tentang diri dan kesuksesannya. Karakter dan sifat Mark yang ditampilkan di film itu bukanlah karakter asli Mark. Ia khawatir imagenya di mata pengguna facebook akan berubah setelah mereka menonton karakter yang ada di film itu. Karena saat ini saya sedang bicara soal film ‘Social Network’, maka mari kita lihat saja Mark sebagai tokoh utama dalam film itu.

Mark dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas tetapi agak sedikit arogan dan tak terlalu peduli pada perasaan orang lain, bahkan cenderung egois. Ia dihadirkan sebagai tokoh yang lugas dalam berbicara penuh dengan logika-logika yang terdengar benar tetapi pada kenyataannya tak semudah itu membuat itu menjadi benar di mata orang lain. Dengan kata lain, kejujuran tak selalu harus berakhir dengan menyakiti perasaan orang lain. Film diawali dengan percakapan antara Mark dan Erica Albright, kekasihnya yang saat itu memutuskan untuk menyudahi hubungan mereka karena tak tahan lagi dengan cara berpikir Mark dan obsesi-obsesinya. Erica tak mau memaafkan Mark meski Mark akhirnya mengalah dan meminta maaf. Erica Albright: Why do you keep saying I don’t need to study? Mark Zuckerberg: You go to B.U… Erica Albright: You are probably going to be a very successful computer person. But you’re going to go through life thinking that girls don’t like you because you’re a nerd. And I want you to know, from the bottom of my heart, that that won’t be true. It’ll be because you’re an asshole. Saat kembali ke asramanya, Mark menumpahkan perasaannya di blog pribadinya. Bukan mengenai penyesalannya, tetapi justru mengatakan hal buruk tentang Erica. Kekesalannya itu kemudian memunculkan ide untuk membuat sebuah website di mana di dalamnya ada aplikasi yang dapat membuat orang-orang bebas memberikan ‘ranking’ pada foto-foto mahasiswa perempuan yang diambilnya dari server Harvard yang dihacknya. Dibantu oleh sahabatnya, Eduardo Saverin, yang membantu memberikan perhitungan alogaritma untuk pertandingan catur, hanya dalam beberapa jam saja, website yang diberi nama ‘Facemash’ itu berhasil disiapkan Mark yang juga dalam keadaan mabuk, dan hasilnya ternyata begitu fantastik. Dalam beberapa jam ia mendapatkan hit sebanyak 22,000 dan sukses membuat seluruh mahasiswa perempuan membencinya karena dianggap telah melanggar privasi dan mempergunakan foto mereka tanpa ijin. Mark dihukum 6 bulan masa percobaan oleh pihak universitas, tetapi itu tak membuatnya merasa bersalah sedikit pun. Dalam sidang yang dilakukan universitas ia justru mengatakan bahwa seharusnya pihak universitas berterima kasih karena ia telah menemukan lubang-lubang yang bisa ditembus pada server universitas dan karenanya keamanan network server itu bisa diperbaiki. Mark Zuckerberg: As for the charges, I believe I deserve some recognition from this board. Ad Board Chairwoman: I’m sorry? Mark Zuckerberg: Yes. Ad Board Chairwoman: I don’t understand… Mark Zuckerberg: Which part? Kehebohan ini justru menarik perhatian dua bersaudara, Cameron dan Tyler Winklevoss dan mengajak Mark untuk membuatkan suatu program bagi kelompok mereka dengan nama ‘Harvard Connection’. Bersama rekan mereka Divya Narendra. Awalnya Mark memang setuju untuk bergabung, tetapi saat idenya berkembang lebih jauh daripada yang diharapkan Winklevoss, ia akhirnya malah membangun sebuah aplikasi yang pada akhirnya nanti akan menjadi lebih luas dan tak hanya terbatas untuk kelompok mahasiswa elit di Harvard. Mendengar nama Harvard selama ini yang terbayang adalah sebuah universitas yang ekslusif di mana mahasiswanya sudah pasti cerdas. Tetapi seperti juga di tempat lain, selalu ada yang merasa lebih eksklusif di antara yang sudah eksklusif, salah satunya adalah Winklevoss bersaudara yang membuat suatu perkumpulan elit beranggotakan mahasiswa Harvard yang dianggap pantas untuk bergabung. Kelompok ini memiliki kriteria sendiri untuk menentukan itu dan Eduardo adalah salah satu dari mahasiswa yang mereka undang untuk bergabung. Sepertinya hanya mahasiswa dengan latar belakang keluarga yang kaya yang bisa bergabung dengan kelompok mereka. Mark yang punya dendam sendiri karena tak bisa masuk di klub itu, akhirnya terobsesi untuk menjadi orang yang lebih dari sekedar elit di kampus. Ia mengembangkan ide dasar Winklevoss dengan membuat suatu website dan aplikasi social network yang anggotanya bisa diikuti oleh siapa saja. Ia mengajak Eduardo untuk bergabung dalam proyeknya dan Eduardo membantu dalam soal pembiayaan. Eduardo setuju, dan Mark mulai mengembangkan ‘Thefacebook’ di seluruh kampus melalui email. Cameron dan Divya yang tak sengaja menemukan bahwa ide dasar mereka telah dipakai oleh Mark untuk membuat aplikasi sendiri, merasa berang dan ingin membawa kasus tersebut ke jalur hukum tetapi Tyler tak setuju. Baginya, seorang gentleman tak pantas ribut-ribut dengan manusia yang levelnya lebih rendah. Ia lebih suka membawanya ke pihak universitas dengan alasan menyalahi ‘code of conduct’. Berbekal pendapat hukum dari inhouse lawyer keluarganya, Winklevoss bersaudara menghadap Presiden Universitas Harvard untuk menyampaikan keberatan mereka. Tetapi yang terjadi adalah semua argumentasi mereka ditolak mentah-mentah dan mereka dianggap tak paham mengenai hukum kekayaan intelektual. Mahasiswa Harvard seharusnya menjadi penemu dan menghasilkan karya-karya baru dalam wujud nyata, bukan hanya bermimpi dengan ide. Secara keseluruhan film ini memang berpijak dan ingin mengatakan kepada semua orang bahwa sebuah IDE tidak akan mendapat perlindungan apa pun jika tidak DIREALISASIKAN atau dalam bahasa keren yang berhubungan dengan kekayaan intelektual adalah DIFIKSASIKAN. Marylin Delpy: You must really hate the Winklevosses. Mark Zuckerberg: I don’t hate anybody. The “Winklevii” aren’t suing me for intellectual property theft. They’re suing me because for the first time in their lives, things didn’t go exactly the way they were supposed to for them. Film ini berpusat pada sebuah proses pengadilan yang terjadi pada Mark Zuckerberg mengenai pelanggaran hak kekayaan intelektual yang dianggap telah dilakukannya. Winklevoss bersaudara dan Divya akhirnya menempuh jalur hukum untuk menggugat Mark atas pencurian ide dasar mereka. ‘Kesalahan manajemen perusahaan’ atau lebih tepatnya kesalahan memanage persahabatan yang menjadikan sahabatnya sendiri yang sama-sama berjuang mendukung segala ide gilanya akhirnya juga membawanya ke jalur hukum karena menuntutnya sebanyak US$ 600 juta setelah namanya dihapus sebagai co-founder Facebook dan sahamnya diturunkan menjadi kurang dari 1%. Dengan mempergunakan teknik bercerita kilas balik, film ini memuat rangkaian kisah dari awal munculnya ide pembuatan aplikasi facebook sampai pada saat di mana Mark akhirnya harus mengambil keputusan-keputusan penting yang mengalahkan persahabatannya dengan Eduardo. Sementara Eduardo sendiri di film ini ditampilkan sebagai sosok mahasiswa yang tampan dan berasal dari keluarga terpandang. Keikutsertaannya dalam proyek Facebook membuatnya turut dikenal mahasiswa di sekitar kampusnya. Dalam suatu kuliah yang diberikan oleh Bill Gates, seorang mahasiswa perempuan mengenali Mark dan akhirnya mereka pun berkencan. Eduardo melanjutkan hubungan dengan Christy, salah seorang dari kedua perempuan itu. Istilah “Facebook Me” menjadi suatu istilah yang terkenal di kampus Harvard dan hampir semua orang mempergunakan istilah itu untuk saling berkoneksi dalam aplikasi itu. Kalau dalam percakapan sehari-hari kita di sini, saya biasa berkata “Add gue dunks, di FB!” maka mulai saat ini saya akan mengikuti istilah keren itu : “Facebook Me, ya!” J Kemajuan yang dialami Mark dan aplikasinya tak lepas dari motivasi dan dukungan advise yang diberikan oleh Sean Parker, co-founder dari aplikasi terkenal NAPSTER yang sekarang sudah menjadi kaya raya. Sean Parker gemar berkencan dengan gadis-gadis yang ditemuinya dan dalam salah satu kesempatan ia menemukan website Mark yang sedang dibuka oleh salah seorang penggemarnya di laptop miliknya. Sean pun kemudian membimbing Mark untuk mengembangkan websitenya kea rah komersial, sementara Eduardo tak terlalu percaya pada Sean karena kepribadiannya. Tetapi Mark percaya bahwa ia harus menjadi billionaire seperti yang dikatakan Sean. Hubungan Mark dan Eduardo pun terganggu saat Mark akhirnya memutuskan pindah ke California. Di California inilah Mark kembali tak sengaja bertemu dengan Sean yang akhirnya mendorong lebih dalam dengan bergabung menjadi manajemen Facebook. Kata Facebook pun sebenarnya juga datang dari Sean yang di awal pertemuan dulu mengatakan : “Drop the “the”. Just “Facebook”. It’s cleaner.” Di bawah arahan Sean, Facebook mendapat banyak suntikan dana untuk pengembangannya. Eduardo yang awalnya sebagai penyandang dana sekaligus CFO dari Facebook, harus membekukan dananya hanya untuk menarik perhatian Mark. Eduardo sangat marah saat ia mengunjungi sahabatnya itu di California dan mengetahui bahwa Sean ternyata tinggal di rumah yang sama. Dan ia benar, saat tahu dananya dibekukan, Mark panik dan menghubungi Eduardo. Ia meminta Eduardo untuk bergabung bersamanya di California. Eduardo yang saat itu baru kembali dari California dan sedang mendapatkan ‘serangan amarah’ tak terduga dari kekasihnya, Christy, menyetujui untuk kembali ke California. Sementara itu, Christy yang merasa tak mendapat perhatian dari Eduardo justru membakar oleh-oleh yang dibawa oleh Eduardo. Sebenarnya dalam pertemuannya dengan Mark, Eduardo sempat bercerita bagaimana perempuan itu telah merusak hidupnya, mengganggu privacynya, dan masuk terlalu jauh dalam hidup Eduardo. Sebagai sahabat, Eduardo dan Mark memang selalu bercerita masalah pribadi mereka. Mark sudah menasehatinya untuk meninggalkan perempuan itu, dan saat Mark meneleponnya untuk meminta ia kembali, saat itu pula Eduardo akhirnya memutuskan hubungan dengan kekasihnya. Jika melihat sepotong adegan antara Eduardo dan Christy, kita akan banyak melihat pasangan yang masih dalam masa pacaran terlibat dalam hubungan aneh seperti ini. Christy sebagai perempuan seperti seseorang yang tak percaya diri dan mencemburui Eduardo berlebihan. Ia harus tahu semau yang dilakukan Eduardo, kemana Eduardo pergi, bahkan sampai meninggalkan 47 sms di handphone Eduardo hanya karena paranoidnya! Ini menurut saya adalah hal yang sinting. Apakah seseorang menjadi boleh melakukan abuse kepada pasangannya dengan alasan pasangan tak membalas pesannya? Bahkan Christy pun demikian marah besar karena Eduardo tak mengubah ‘Status’ di profile Facebooknya dari ‘Single’ menjadi ‘In Relationship’ dengannya. Eduardo benar-benar digambarkan sebagai seorang laki-laki yang kehilangan kepribadiannya karena tekanan perasaan yang dilakukan oleh orang yang merasa sebagai kekasihnya. Siapa pun yang melihat cuplikan adegan ini akan merasa kasihan padanya. Secara keseluruhan, dalam film ini digambarkan bagaimana seorang Eduardo Saverin, begitu penuh perhatian pada sahabatnya, Mark Zuckerberg. Eduardo yang pergaulannya demikian luas, berasal dari keluarga yang mampu, mau menjadi sahabat Mark yang penyendiri dan tak disukai banyak orang. Persahabatan pulalah yang membuat Eduardo mau memberikan perhatian penuhnya pada obsesi Mark. Mark, sungguh beruntung memiliki sahabat dan teman-teman yang mendukungnya untuk mewujudkan mimpi besarnya. Tetapi sebuah bisnis, jika ingin dikembangkan lebih besar, tak pelak lagi, butuh manajemen dan biaya yang lebih besar, dan Mark yang memang ambisinya tak bisa dibendung, seolah tak ingat akan jasa-jasa temannya. Inilah yang tak diinginkan oleh Mark Zuckerberg untuk difilmkan. Menurut Mark, yang terjadi tidaklah seperti itu. Demikian juga menurut Eduardo, seperti yang ditulis dalam statement-nya : “What I gleaned from viewing “The Social Network” was bigger and more important than whether the scenes and details included in the script were accurate. After all, the movie was clearly intended to be entertainment and not a fact-based documentary. What struck me most was not what happened – and what did not – and who said what to whom and why. The true takeaway for me was that entrepreneurship and creativity, however complicated, difficult or tortured to execute, are perhaps the most important drivers of business today and the growth of our economy.” Mark bahkan awalnya mengeluarkan statement bahwa ia tak akan menonton film itu. Tetapi kenyataannya setelah ia mendengar bahwa film itu banyak menginspirasi orang akan kerja kerasnya, ia akhirnya menonton juga. Ia tak lagi khawatir tentang apa yang akan dikatakan orang tentangnya, dan ia hanya akan fokus pada pengembangan Facebook ke depan sebagai media jejaring sosial bagi pengguna internet di seluruh dunia. Ideas will always live and grow! Anyway, cerita lengkapnya bisa anda tonton di film ini, anda sebagai penonton akan bisa menilai sendiri apa yang sebenarnya bisa terjadi. Tetapi beberapa pelajaran penting yang saya dapatkan dari film ini adalah bahwa setiap mimpi apa pun yang kita miliki, akan berhasil kita gapai jika kita sungguh-sungguh dan memiliki kemampuan untuk itu. Dukungan sahabat dan teman-teman yang memiliki ‘passion’ yang sama akan sangat berarti bagi perjalanan membangun mimpi menjadi kenyataan. Di akhir film, diceritakan bahwa lawyer Mark akhirnya memberikan advise untuk membayar saja gugatan Winklevoss bersaudara, dan Eduardo Saverin, karena sifat Mark yang arogan kemungkinan tak akan disukai oleh para juri di pengadilan. Nama Eduardo Saverin pun dimasukkan kembali sebagai co-founder Facebook. Keangkuhan Mark pun runtuh seiring dengan kenyataan bahwa ia tak lagi memiliki sahabat, dan ia pun akhirnya mengirimkan ‘request to add as friend’ kepada Erica Albright dan terus menerus me-refresh halaman profile itu berharap menerima kabar baik dari request-nya. Kita tak tahu apakah ini benar-benar kejadian yang sebenarnya atau hanya dramatisasi dari sebuah kisah nyata yang difilmkan, tetapi di Facebook sekarang muncul sebuah ‘Page’ lucu dengan nama Erica Albright, please accept my friend request – dan di dalamnya banyak komentar dari orang-orang yang menganggapnya benar-benar terjadi! The Social Network – 2010 Director: David Fincher Writers: Aaron Sorkin (screenplay), Ben Mezrich (book) Stars: Jesse Eisenberg, Andrew Garfield and Justin Timberlake

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun