Pembicaraan kedua teman saya itu menggelitik telinga saya juga untuk berkomentar saat salah seorang dari mereka berkata, “Iya, masa’ dokternya nanya, kan kamu punya duit dan diganti kantor biaya medical-nya, masa’ minta obat generik?” Well, mungkin pertanyaan dokter tadi sifatnya sedikit melucu atau humor saja, tetapi bukan tak mungkin itu juga pertanyaan serius! Seperti kita tahu, kalau kita sedang mengantri di rumah sakit, kita akan melihat ada atau banyak orang-orang yang sama-sama menunggu di antara para pasien tetapi bukan untuk berobat. Mereka itu adalah para sales obat-obatan. Tak bisa dipungkiri pula, obat-obatan merupakan bisnis yang sangat menggiurkan karena menyangkut hak paten dari penemunya yang tentu saja dihargai mahal di negara yang sudah sangat menjunjung tinggi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Jadi, apa sebenarnya yang membuat obat generik itu seolah-olah mendapat cap ‘obat murahan’ sehingga dokter pun menanyakan hal seperti itu? Bukankah dokter seharusnya atau setidaknya paham kenapa obat itu menjadi obat generik? Atau barangkali dokter mendapat komisi dari penjualan obat-obatan yang berhasil dilakukannya? Soal ini memang sudah banyak dibahas orang di mana pun, tetapi mungkin ada gunanya juga jika saya mengulang kembali ulasan ini sehingga jika ada banyak sahabat-sahabat perempuan saya yang belum tahu, mereka akan jadi tahu juga. Meski di televisi pemerintah seperti mendorong masyarakat untuk mempergunakan obat generik, tetapi dalam iklan layanan masyarakat itu ada sesuatu yang tidak secara jujur diungkapkan kepada masyarakat. Obat generik hanya dibilang ‘kualitasnya bagus’, ‘kualitasnya sama dengan obat bermerek’, dan hal-hal yang sifatnya penghiburan saja. Coba bayangkan kalau anda sedang sakit dan anda punya rasa tidak percaya terhadap obat yang anda minum, apakah anda akan sembuh? Ok, kembali ke topik semula, kenapa obat generik seperti menjadi obat kelas dua. Obat Generik itu sebenarnya adalah obat dengan nama resmi sesuai tercantum dalam Farmakope Indonesia untuk zat yg berkhasiat. Farmakope sendiri adalah buku resmi yang ditetapkan hukum dan memuat standarisasi obat-obat penting serta persyaratan identitas, kadar kemurnian dan sebagainya, begitu pula metoda-metoda analisa dan resep-resep sediaan farmasi. Nah, apa saja yang tercantum di dalam buku itu? Ambil contoh saja : Amoxicilin, Eritromisin, dan lain-lain. Saya tidak akan masuk lebih dalam kepada jenis obat-obatannya, karena saya tidak ahli di bidang itu. Tetapi saya hanya akan masuk ke ide dasarnya saja kenapa obat itu disebut obat generik. Secara umum saja, dengan daya nalar kita, kita bisa membayangkan bahwa untuk memproduksi suatu zat yang berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit yang ada pada tubuh manusia, tentunya butuh penelitian yang lama dan para ahli yang secara terus menerus berkomitmen menemukan zat terbaik. Para ahli ini tentu saja, sesuai dengan bidang, keahlian, dan zat yang ditemukannya, butuh suatu perlindungan atas hasil yang mereka dapatkan. Inilah hasil kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh seorang penemu, atau dalam bahasa kerennya disebut ‘Inventor’. Pada negara-negara yang sudah maju, Inventor sangat kaya. Dengan masa perlindungan selama 20 (duapuluh) tahun atas penemuan mereka, maka selama itu pula mereka mendapatkan hak ekonomi mereka dari penemuan yang mereka hasilkan. Nah inilah salah satunya yang disebut PATEN. Jadi, kalau mereka menyebut : “Kita harus mengajukan permohonan HAK PATEN-nya” itu istilah yang benar. Jangan sedikit-sedikit maunya menyebut “Hak Paten”, padahal tidak tahu hak paten itu sendiri apa. Dalam salah satu berita di detik.com atau vivanews.com yang menurut saya sangat ngawur dan wartawannya juga tidak punya pengetahuan soal HAKI, mereka menulis tajuknya begini. detikHot : Sule Tidak Akan Patenkan ‘Prikitiew’ – VIVAnews – Sule Tidak Mau Patenkan Kata “Prikitiew’ – Ini menyesatkan pembaca. Menyesatkan publik. Kalau media saja menulis soal HAKI dengan salah, bagaimana mau mengedukasi? Ow saya lupa, ini soal infotainment sih ya, jadi wajar saja kalau wartawannya tidak paham! Tapi kan tidak wajar atau wajar saja jika para penonton infotainment jadi tersesat? Atau dengan menonton atau membaca infotainment saja sebenarnya ‘sedang tersesat’?
- Obat generik berlogo yang lebih umum disebut obat generik saja adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat.
- Obat generik bermerk yang lebih umum disebut obat bermerk adalah obat yang diberi merk dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.
Nah, sudah ada kata MEREK di situ. Itu berarti, sudah ada biaya baru yang harus ditanggung oleh pembeli atau pemakai obat. Dan tahukah anda bahwa obat generik di Indonesia harganya menjadi lebih mahal dibandingkan dengan di negara-negara lain? Jadi, masih mau bilang ‘Obat Generik itu Murah?’ Yang terjadi selanjutnya di Indonesia adalah banyak obat generik di Indonesia yang sengaja dikemas dan dipasarkan serta diberi merek tertentu layaknya obat yang masih memiliki hak paten dan istilah obat generik bermerek itu sepertinya hanya sebuah selubung untuk mendapatkan keuntungan dari sebuah produk yang harusnya biayanya tidak lagi dibebankan kepada masyarakat, tetapi menjadi harus ditanggung jika masyarakat memilih memakai obat generik bermerek! Masih tidak terbukanya informasi bahwa yang menjadi beban biaya pada obat yang bukan generik sebenarnya yang membuat masyarakat sulit mempercayai bahwa ia sedang mengkonsumsi obat yang bermutu! So, buat pemerintah, lain kali kalau buat iklan OBAT GENERIK, pastikan bahwa masyarakat tahu, kenapa obat itu menjadi murah. Sebutkan alasan-alasan ini di dalam iklan layanan masyarakat tanpa perlu takut kehilangan pemasukan untuk negara. Obat Generik lebih murah karena : a. Tidak terkena pajak b. Tidak menganggung biaya promosi c. Tidak menanggung biaya distribusi (ditanggung oleh pemerintah) d. Disubsidi, bahkan ada beberapa yang “dijual rugi”. Tetapi khasiatnya sama dengan obat paten atau obat bermerek! Lastly, I just wanna say like Virgil said – “The greatest wealth is health.” Keep healthy, my friends!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H