Mohon tunggu...
Risa Amrikasari
Risa Amrikasari Mohon Tunggu... -

I speak, only if I care.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Punya Uang Kok Beli Obat Generik?

12 November 2010   07:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:40 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembicaraan kedua teman saya itu menggelitik telinga saya juga untuk berkomentar saat salah seorang dari mereka berkata, “Iya, masa’ dokternya nanya, kan kamu punya duit dan diganti kantor biaya medical-nya, masa’ minta obat generik?” Well, mungkin pertanyaan dokter tadi sifatnya sedikit melucu atau humor saja, tetapi bukan tak mungkin itu juga pertanyaan serius! Seperti kita tahu, kalau kita sedang mengantri di rumah sakit, kita akan melihat ada atau banyak orang-orang yang sama-sama menunggu di antara para pasien tetapi bukan untuk berobat. Mereka itu adalah para sales obat-obatan. Tak bisa dipungkiri pula, obat-obatan merupakan bisnis yang sangat menggiurkan karena menyangkut hak paten dari penemunya yang tentu saja dihargai mahal di negara yang sudah sangat menjunjung tinggi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Jadi, apa sebenarnya yang membuat obat generik itu seolah-olah mendapat cap ‘obat murahan’ sehingga dokter pun menanyakan hal seperti itu? Bukankah dokter seharusnya atau setidaknya paham kenapa obat itu menjadi obat generik? Atau barangkali dokter mendapat komisi dari penjualan obat-obatan yang berhasil dilakukannya? Soal ini memang sudah banyak dibahas orang di mana pun, tetapi mungkin ada gunanya juga jika saya mengulang kembali ulasan ini sehingga jika ada banyak sahabat-sahabat perempuan saya yang belum tahu, mereka akan jadi tahu juga. Meski di televisi pemerintah seperti mendorong masyarakat untuk mempergunakan obat generik, tetapi dalam iklan layanan masyarakat itu ada sesuatu yang tidak secara jujur diungkapkan kepada masyarakat. Obat generik hanya dibilang ‘kualitasnya bagus’, ‘kualitasnya sama dengan obat bermerek’, dan hal-hal yang sifatnya penghiburan saja. Coba bayangkan kalau anda sedang sakit dan anda punya rasa tidak percaya terhadap obat yang anda minum, apakah anda akan sembuh? Ok, kembali ke topik semula, kenapa obat generik seperti menjadi obat kelas dua. Obat Generik itu sebenarnya adalah obat dengan nama resmi sesuai tercantum dalam Farmakope Indonesia untuk zat yg berkhasiat. Farmakope sendiri adalah buku resmi yang ditetapkan hukum dan memuat standarisasi obat-obat penting serta persyaratan identitas, kadar kemurnian dan sebagainya, begitu pula metoda-metoda analisa dan resep-resep sediaan farmasi. Nah, apa saja yang tercantum di dalam buku itu? Ambil contoh saja : Amoxicilin, Eritromisin, dan lain-lain. Saya tidak akan masuk lebih dalam kepada jenis obat-obatannya, karena saya tidak ahli di bidang itu. Tetapi saya hanya akan masuk ke ide dasarnya saja kenapa obat itu disebut obat generik. Secara umum saja, dengan daya nalar kita, kita bisa membayangkan bahwa untuk memproduksi suatu zat yang berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit yang ada pada tubuh manusia, tentunya butuh penelitian yang lama dan para ahli yang secara terus menerus berkomitmen menemukan zat terbaik. Para ahli ini tentu saja, sesuai dengan bidang, keahlian, dan zat yang ditemukannya, butuh suatu perlindungan atas hasil yang mereka dapatkan. Inilah hasil kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh seorang penemu, atau dalam bahasa kerennya disebut ‘Inventor’. Pada negara-negara yang sudah maju, Inventor sangat kaya. Dengan masa perlindungan selama 20 (duapuluh) tahun atas penemuan mereka, maka selama itu pula mereka mendapatkan hak ekonomi mereka dari penemuan yang mereka hasilkan. Nah inilah salah satunya yang disebut PATEN. Jadi, kalau mereka menyebut : “Kita harus mengajukan permohonan HAK PATEN-nya” itu istilah yang benar. Jangan sedikit-sedikit maunya menyebut “Hak Paten”, padahal tidak tahu hak paten itu sendiri apa. Dalam salah satu berita di detik.com atau vivanews.com yang menurut saya sangat ngawur dan wartawannya juga tidak punya pengetahuan soal HAKI, mereka menulis tajuknya begini. detikHot : Sule Tidak Akan Patenkan ‘Prikitiew’ – VIVAnews – Sule Tidak Mau Patenkan Kata “Prikitiew’ – Ini menyesatkan pembaca. Menyesatkan publik. Kalau media saja menulis soal HAKI dengan salah, bagaimana mau mengedukasi? Ow saya lupa, ini soal infotainment sih ya, jadi wajar saja kalau wartawannya tidak paham! Tapi kan tidak wajar atau wajar saja jika para penonton infotainment jadi tersesat? Atau dengan menonton atau membaca infotainment saja sebenarnya ‘sedang tersesat’?

:)
:)
Lalu, karena perlindungan hak paten inilah, maka obat-obat yang ditemukan kemudian menjadi mahal harganya. Selain itu, obat-obatan yang baru ini, masih harus menanggung biaya-biaya pajak, distribusi, promosi, dan lain-lain. Beberapa obat tidaklah benar-benar baru, akan tetapi ada beberapa penemuan baru yang terdapat di dalamnya. Seperti misalnya, jika kita mengkonsumsi suatu obat yang dulunya hanya berupa tablet biasa, maka pada penemuan terbarunya, obat tersebut bisa dikunyah dan rasanya tidak sepahit obat sebelumnya. Sedangkan soal khasiat, sama saja dengan obat yang sudah habis masa perlindungan hak patennya. Masa perlindungan hak paten, seperti saya sebut di atas adalah 20 (dua puluh) tahun, sedangkan untuk paten sederhana 10 (sepuluh) tahun. Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya (dalam hal Paten-produk) untuk membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten. Para penemu yang memang jenius sebagai inventor, tentu saja jenius juga dalam memperpanjang masa untuk mendapatkan keuntungan. Ada juga yang berusaha melakukan penemuan-penemuan baru terhadap produk yang sama supaya hak patennya terus didapat, dan secara otomatis hak ekonominya juga berlangsung terus. Lalu, kalau begitu, benar dong bahwa obat-obatan yang baru lebih baik? Well, tergantung bagaimana melihatnya. Semua hanya kembali kepada ‘rasa nyaman’ si pembeli atau pemakai obat saja, karena kalau mau dilihat dari segi khasiat, sebenarnya sama saja. Ada obat yang sama yang dulunya kalau dikonsumsi harus 3 kali sehari, yang baru hanya 1 kali sehari. Karena obat generik adalah obat yang bermutu tinggi dan telah melalui quality control yang sangat ketat, maka obat generik adalah obat yang berkualitas juga. Obat dengan hak paten adalah obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama si pemegang hak paten, dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik pembuatnya. Contohnya : Amoxan kapsul, Erysanbe Chewable, dan lain-lain. So, balik lagi ke pertanyaan dokter di atas, kalau ada dokter yang mengatakan seperti itu, jawaban sederhananya adalah : “Saya mau beli obat, dok, bukan mau beli mereknya!” Tetapi yang harus diingat adalah, tidak semua obat sudah keluar obat generiknya. Jadi, kalau anda seorang pasien dan ingin mendapatkan obat dengan mutu yang baik tetapi murah, mungkin berinisiatif untuk menanyakan lebih dulu : “Sudah ada obat generiknya untuk obat terbaik yang anda rekomendasikan, Dok?” At the end, pasien mempunyai hak untuk memilih apakah ia ingin memakai obat generik atau obat paten. Tetapi semuanya kembali terpulang pada rasa percaya atas obat-obatan yang dikonsumsinya hingga kesembuhan yang menjadi target utama akan tercapai tanpa perlu malu untuk bertanya dan mengkonsumsi obat generik. Bahkan pemerintah sendiri juga sudah mengeluarkan merek untuk obat generik ini agar masyarakat lebih percaya untuk mengkonsumsinya. Selain itu, desakan dari para produsen obat pun membuat pemerintah harus melakukan itu. Sekarang bahkan Obat Generik pun sudah memiliki MEREK, ada :
  • Obat generik berlogo yang lebih umum disebut obat generik saja adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat.
  • Obat generik bermerk yang lebih umum disebut obat bermerk adalah obat yang diberi merk dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.

Nah, sudah ada kata MEREK di situ. Itu berarti, sudah ada biaya baru yang harus ditanggung oleh pembeli atau pemakai obat. Dan tahukah anda bahwa obat generik di Indonesia harganya menjadi lebih mahal dibandingkan dengan di negara-negara lain? Jadi, masih mau bilang ‘Obat Generik itu Murah?’ Yang terjadi selanjutnya di Indonesia adalah banyak obat generik di Indonesia yang sengaja dikemas dan dipasarkan serta diberi merek tertentu layaknya obat yang masih memiliki hak paten dan istilah obat generik bermerek itu sepertinya hanya sebuah selubung untuk mendapatkan keuntungan dari sebuah produk yang harusnya biayanya tidak lagi dibebankan kepada masyarakat, tetapi menjadi harus ditanggung jika masyarakat memilih memakai obat generik bermerek! Masih tidak terbukanya informasi bahwa yang menjadi beban biaya pada obat yang bukan generik sebenarnya yang membuat masyarakat sulit mempercayai bahwa ia sedang mengkonsumsi obat yang bermutu! So, buat pemerintah, lain kali kalau buat iklan OBAT GENERIK, pastikan bahwa masyarakat tahu, kenapa obat itu menjadi murah. Sebutkan alasan-alasan ini di dalam iklan layanan masyarakat tanpa perlu takut kehilangan pemasukan untuk negara. Obat Generik lebih murah karena : a. Tidak terkena pajak b. Tidak menganggung biaya promosi c. Tidak menanggung biaya distribusi (ditanggung oleh pemerintah) d. Disubsidi, bahkan ada beberapa yang “dijual rugi”. Tetapi khasiatnya sama dengan obat paten atau obat bermerek! Lastly, I just wanna say like Virgil said – “The greatest wealth is health.”  Keep healthy, my friends!

:)
:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun