Mohon tunggu...
Ison Idris
Ison Idris Mohon Tunggu... -

Lahir dan bertumbuh di Sumatera. Saat ini tinggal di Jawa Barat, bekerja sebagai PNS di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Memberantas Rabies

2 Februari 2010   06:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:07 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Rabies merupakan satu di antara zoonosis penting di Indonesia. Arti penting penyakit ini tidak saja dampak kematian manusia yang ditimbulkannya tetapi juga dampak psikologis (kepanikan, kegelisahan, kekhawatiran, kesakitan, ketidaknyamanan) pada orang-orang yang terpapar serta kerugian ekonomi pada daerah yang tertular seperti biaya penyidikan, pengendalian yang harus dibelanjakan pemerintah serta pendapatan negara dan masyarakat yang hilang akibat pembatalan kunjungan wisatawan.

Rabies pertama kali dilaporkan di Indonesia oleh Schoorl (1884) di Jakarta pada seekor kuda, kemudian oleh JW Esser (1889) di Bekasi pada seekor Kerbau. Setelah Penning (1890) menemukan rabies pada anjing, rabies ini menjadi penyakit yang popular di Indonesia (Hindia Belanda saat itu). Rabies pada manusia dilaporkan lebih belakangan yaitu oleh de Haan pada tahun 1894. Campur tangan (intervensi) pemerintah terhadap pengendalian rabies secara formal telah dilakukan sejak era 1920-an, terbukti dengan penetapan ordonansi rabies - Hondsdolheids Ordonantie (Staatsblad 1926 No.451 yo Staatblad 1926 No. 452) oleh pemerintah kolonial Belanda.

Dalam sejarah pengendalian dan pemberantasan rabies di Indonesia, walaupun ada wilayah yang berhasil dibebaskan, namun Indonesia tidak berhasil menghentikan perluasan daerah tertular rabies di Indonesia. Daerah tertular rabies yang semula hanya beberapa provinsi saja sebelum Perang Dunia II, telah meluas ke daerah lain yang semula bebas yaitu: Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara dan Sulawesi Utara (1956), Sulawesi Selatan (1958), Sumatera Selatan (1959), Lampung (1969), Aceh (1970), Jambi dan DI Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tengah (1972), Kalimantan Timur (1974) dan Riau (1975).

Pada dekade 1990an dan 2000an Rabies masih terus menjalar ke wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi tertular yaitu Pulau Flores (1998) Pulau Ambon dan Pulau Seram (2003), Halmahera dan Morotai (2005) Ketapang (2005) serta Pulau Buru (2006)  kemudian Pulau Bali, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat di Provinsi Riau (2009). Saat ini provinsi yang bebas rabies Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat.

Ada sedikit kisah sukses pengendalian dan pemberantasan rabies di Indonesia, yaitu pulau Jawa berhasil dibebaskan dari Rabies pada tahun 2004 setelah sebelumnya Pulau Jawa bagian tengah dan timur meliputi Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur dibebaskan terlebih dahulu pada tahun 1996. Walaupun kemudian penyakit ini muncul lagi (reoccurrence) di Garut (2005, 2007) dan Tasikmalaya (2006) Provinsi Jawa Barat serta Lebak (2008) Provinsi Banten. Kisah sukses lainnya adalah keberhasilan membatasi outbreak rabies di Provinsi Kalimantan Barat (2005) menjadi hanya outbreak tunggal.

Kematian karena rabies pada manusia (lyssa) pada tahun 2005 sebanyak 134 orang. Bila dibandingkan dengan situasi rabies pada tahun 2004 terjadi peningkatan lyssa yang cukup signifikan (tahun 2004 lyssa 109 orang). Hal ini menandakan bahwa upaya-upaya yang telah dilaksanakan masih belum optimal, terbukti jumlah kematian akibat rabies masih dilaporkan.

MASALAH DAN TANTANGAN

Lemahnya Otoritas Kesehatan hewan

Rabies merupakan Zoonosis yang bersumber pada hewan. Pengendalian rabies pada sumbernya (hewan) merupakan suatu keniscayaan. Namun demikian otoritas kesehatan hewan di Indonesia tidak memadai untuk melaksanakan

Hambatan sosial budaya

Anjing memiliki nilai sosial budaya bahkan ekonomis bagi masyarakat Indonesia seperti berburu babi pada masyarakat sumatera barat, adu bagong bagi masyarakat sunda, membawa anjing untuk keselamatan pada pelayaran tradisional bagi masyarakat bugis, belis (mas kawin) bagi masyarakat flores serta konsumsi daging anjing bagi masyarakat tertentu di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur.

Anjing diperjual belikan sehingga memiliki nilai ekonomi, pada kondisi seperti ini, eliminasi sulit dilakukan karena ada penolakan, dan dari berbagai kejadian seperti di flores anjing disembunyikan di perkebunan atau hutan, justru membantu menyebarkan rabies.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun