Sedih benar saya, membaca sebuah berita tentang HARI GURU. Di Bundaran HI beberapa siswa SMA membentangkan kain putih sepanjang 600M, menggalang dukungan untuk guru. Seorang koordinator aksi ini mengatakan, "Ini kita lakukan untuk memberi dorongan moril kepada kerja-kerja guru yang terlupakan. Banyak yang tidak tahu sekarang Hari Guru."
Duh, perlukah itu?
Ijinkan saya menceritakan kepada anda tentang guru saya, yang saya yakin tak pernah berharap saya 'mengingatnya' dan betapa apa-apa yang diucapkannya nyata-nyata terpahat lekat dalam otak saya hingga hari ini.
Guru SD saya, bu Wiwik, guru favorit saya, adalah seorang guru honorer lulusan SPG.Gajinya dibayar ala kadarnya oleh sekolah (entah berapa puluh ribu rupiah waktu itu – sekitar tahun 1982). Dan karenanya beliau waktu itu hanya mampu 'menumpang' di rumah seorang kerabatnya, tempat yang juga oleh beliau sering dimanfaatkan untuk memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk belajar di luar jam sekolah.
Tak seharipun beliau melewatkan waktunya untuk tidak menjumpai kami di kelas, pun saat kami ingin menanyakan sesuatu yang belum kami pahami di luar jam mengajarnya.Saat hujan pun, beliau rela memberi pelajaran tambahan pada kami, dengan sarana seadanya di teras rumah tumpangannya.
Beliau sangat bersahaja, sabar, tak pernah lupa tersenyum, tak pernah membentak, namun aura kewibawaannya tetap membuat kami tak mampu mengangkat wajah setiap kali melakukan kesalahan.
Suatu ketika, dengan wajah penuh kasihnya beliau pernah mengatakan pada saya (waktu itu saya masih kelas 4 SD ): "Isni, ketahuilah segala sesuatu, maka kamu akan dapatkan apapun yg kamu mau."Entah kenapa, kata2 itu terus saya ingat dan menjadi semacam energi positif setiap kali saya berada pada situasi yg seolah tak menemui satu celah kecilpun untuk keluar.
“KETAHUILAH SEGALA SESUATU”
Kalimat ini saya maknai sebagai sebuah dorongan untuk terus belajar dan memahami, hingga jelas dan terbaca semua yg semula samar, abu-abu bahkan gelap sekalipun.
Dan bagai mantra ajaib, kalimat ini juga membuat saya akhirnya merasa 'mendapatkan semua yang saya inginkan’.Tentu saja dgn standar yang saya buat sendiri, yang sesuai dgn kebutuhan dan kemampuan saya.
Sudah hampir 30 tahun saya tidak pernah berjumpa beliau, namun wajah, semangat dan dedikasi, serta mantra ajaib itu lekat dalam ingatan saya, yang tanpa sadar membuat saya tak lupa menyelipkan harapan akan kemuliaan hidup dunia akhirat bagi mereka dalam doa-doa saya.
Saya yakin, anda, pembaca tulisan ini, juga sama dengan saya.
Jadi, perlukah meminta dukungan moril, penghargaan, atas jasa-jasa para guru sebagaimana aksi di Bundaran HI itu?Saya rasa tidak.
Karena kalian, para guru, para pendidik, para penanam bibit akhlak yang mulia, akan terus hidup dalam sanubari kami, tanpa harus kalian minta.
Jadilah Guru yang terhormat, bukan guru yang minta dihormati.
SELAMAT HARI GURU!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H