Penyalahgunaan narkoba menjadi salah satu masalah dalam aspek sosial dan kesehatan di dunia. Bahkan, isu penyalahgunaan narkotika dan obat-obat berbahaya menjadi salah satu isu yang terintegrasi dalam salah satu aspek Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Deveopment Goals (SDGs) pada poin ketiga, yakni Kehidupan Sehat dan Sejahtera (Good Health & Well Being). SDGs merupakan agenda dunia yang ditentukan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk perdamaian, kemakmuran manusia serta planet bumi pada masa sekarang maupun masa depan. Terkait dengan isu narkoba, hasil penelitian yang dilakukan  oleh Atzendorf dkk. pada tahun 2019 di jerman mengatakan bahwa penggunaan narkoba dan pola konsumsi zat-zat berbahaya yang tersebar luas di masyarakat Jerman menjadi beban yang cukup besar bagi masyarakat. Hal ini tentu tidak luput dari efek narkoba yang dapat menimbulkan ketergantungan, kerusakan otak, kerusakan organ tubuh, bahkan kematian.Â
Narkoba merupakan singkatan dari kata Narkotika, Psikotropika, dan Obat/Bahan Berbahaya. Narkotika sebagaimana dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Psikotropika adalah zat atau obat yang menurunkan fungsi otak serta merangsang sistem saraf pusat menimbulkan reaksi halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan perasaan yang tiba-tiba, dan menimbulkan rasa kecanduan pada pemakainya. Narkotika menurut Lampiran Kementerian Kesehatan Nomor 9 Tahun 2022 dikategorikan dalam 3 golongan utama, yakni golongan I, II, dan III. Narkotika golongan I seperti ganja, opium, dan tanaman koka hanya dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memiliki potensi yang sangat tinggi dalam menyebabkan ketergantungan. Sedangkan Narkotika golongan II seperti Morfin dan Alfaprodina masih dapat dimanfaatkan untuk pengobatan asalkan sesuai dengan resep dokter. Sama seperti golongan I, Narkotika golongan II juga memiliki potensi yang sangat tinggi dalam menimbulkan ketergantungan. Sementara Narkotika golongan III seperti etilmorfina, kodeina, polkodina, dan propiram memiliki risiko ketergantungan yang cukup ringan dan banyak dimanfaatkan untuk pengobatan serta terapi. Penggunaan narkotika dan beberapa jenis obat berbahaya harus diaplikasikan sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mengontrol serta meminimalkan risiko serta efek tidak diinginkan yang dapat ditimbulkan. Apabila penggunaan narkotika, psikotropika dan obat-obatan berbahaya tersebut disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, maka risiko serta efek tidak diinginkan yang ditimbulkan tidak akan dapat dikontrol dan diminimalkan sehingga dapat berpotensi mengakibatkan kerusakan organ dalam jangka panjang, bahkan kematian.Â
Seiring berjalannya waktu, kasus penyalahgunaan narkoba menjadi sering terdengar baik di indonesia maupun negara luar. Bahkan, tidak jarang terdengar kabar terkait beberapa selebriti yang terjerat kasus penyalahgunaan narkoba. Hal tersebut didukung oleh adanya data yang menyebutkan bahwa terdapat peningkatan pengguna narkotika di kalangan selebriti sebanyak 9% pada tahun 2019 (Zahara dkk., 2021). Bahkan, menurut detiknews.com pada tahun 2021 tercatat ada 11 nama artis yang terbukti telah melakukan penyalahgunaan narkoba. Tidak hanya itu, kompas.tv juga menuturkan bahwa terhitung ada 6 artis yang telah tersandung kasus narkoba sepanjangan tahun 2022-2023. Hal tersebut sungguh disayangkan karena selebritis sering dikaitkan sebagai role model bagi masyarakat yang tentunya dituntut agar dapat menjaga sikap dan nama baiknya serta memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Oleh sebab itu, selebritis tidak seharusnya memberikan contoh buruk yang dapat ditiru oleh masyarakat sehingga menyebabkan permasalahan sosial, seperti keterlibatannya dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Tentunya, menjadi selebriti juga memiliki berbagai tantangan dan hambatan yang berat. Diantara hambatan dan tantangan tersebut antara lain stress akibat tekanan pekerjaan, emosi, luka hati, risiko lebih terbukanya privasi mereka, maupun pengaruh lingkungan pergaulan yang buruk. Bahkan, terdapat beberapa selebriti yang menggunakan narkoba sebagai penambah energi dalam kesibukan pekerjaan mereka. Akan tetapi, hal tersebut juga tidak dapat menjadi alasan bagi para selebriti untuk memilih narkoba sebagai jalan keluar atas segala permasalahan mereka. Psikolog Aully Grashinta dalam https://wartakota.tribunnews.com/ menuturkan bahwa fenomena selebriti yang terjerat narkoba dapat menimbulkan risiko yang berdampak negatif bagi masyarakat, khususnya penggemar fanatik mereka. Hal ini berkaitan erat dengan peran selebriti sebagai role model bagi beberapa orang, khususnya penggemar fanatik mereka dimana para penggemar tersebut kerap terinspirasi untuk melakukan hal-hal yang dilakukan idolanya karena ada kaitan emosional yang ditimbulkan dari sikap menggemari (Hadi, 2019).Â
Melihat kasus narkoba yang ada di indonesia serta kasus selebriti yang terjerat ke dalamnya menjadikan kita sebagai penggemar maupun masyarakat untuk lebih berhati-hati terhadap jeratan barang haram tersebut. Diantara beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap narkoba adalah dengan meningkatkan pengetahuan terhadap narkoba, khususnya efek-efek berbahaya yang dapat timbul akibat konsumsi narkoba. Penggunaan narkoba dapat berdampak pada kesehatan jangka pendek dan jangka panjang, termasuk kesehatan fisik dan mental. Terkait dampak fisik narkoba, Dr. Scot Thomas dalam https://greenhousetreatment.com/ menyampaikan bahwa narkoba dapat mengakibatkan kerusakan pada sistem pernapasan, kardiovaskuler, pencernaan, hati, ginjal, serta otak. Diantara dampak fisik tersebut antara lain :Â
Kokain dapat berkontribusi dalam perkembangan penyakit emfisema, bronkitis, dan kanker paru-paru (National Institute on Drug Abuse, 2017).
Narkoba dapat mempengaruhi detak dan ritme jantung bahkan menyebabkan serangan jantung. Kokain adalah salah satu obat yang diketahui memiliki dampak buruk terhadap jantung karena mengakibatkan perubahan detak jantung, irama jantung yang tidak normal, dan perubahan patologis pada tekanan darah yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan risiko kejadian kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke (American Heart Association, 2018).
Hati sangat rentan terhadap cedera akibat penyalahgunaan kronis atau overdosis zat tertentu
Penggunaan narkoba suntikan juga merupakan faktor risiko besar tertular hepatitis B dan C. Hepatitis akibat virus yang tidak diobati dapat menyebabkan sirosis hati serta kanker hati. Hampir setengah dari seluruh kasus kanker hati berkembang sehubungan dengan infeksi hepatitis C (National Institute on Drug Abuse, 2018).
Kokain dan heroin, khususnya, berhubungan dengan glomerulonefritis akut, nefritis interstisial, dan sindrom nefrotik---sekelompok gejala termasuk kelelahan, peningkatan protein urin, dan edema parah yang menunjukkan ginjal tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Jaffe, J.A., A Kimmel, P.L, 2006).
Penggunaan opioid dikaitkan dengan konstipasi parah, sedangkan penghentian opioid sering kali menyebabkan diare (National Institute on Drug Abuse, 2017) dan (S. National Library of Medicine, 2018)
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!