Mohon tunggu...
Isna Nugraha Putra Saragih
Isna Nugraha Putra Saragih Mohon Tunggu... -

bugdet traveler ...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jejak Duka Kamp Pengungsi Vietnam

2 Mei 2012   02:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:51 1478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sunyi, mistis dan merana karena ditinggalkan pemiliknya. Itulah kesan pertama yang ditangkap indera ketika saya menginjakkan kaki di eks kamp pengungsi Vietnam pulau Galang. Sebuah baliho raksasa bergambar peta eks kamp Vietnam menyambut kedatangan saya. Pulau Galang terletak lima puluh kilometer dari pusat kota Batam. Untuk menuju pulau Galang saya harus melewati empat buah jembatan yang menghubungkan pulau Batam dengan pulau Ponton, Nipah, Rempang dan Galang. Jembatan-jembatan ini dikenal dengan nama jembatan Barelang yang merupakan akronim dari Batam, Rempang dan Galang. Jembatan paling indah adalah jembatan Raja Haji Fisabilillah atau populer disebut Jembatan Barelang 1. Jembatan ini menghubungkan pulau Batam dan pulau Ponton. Namanya diambil dari nama sultan di Kepulauan Riau yang dianugerahi gelar pahlawan nasional karena turut memerangi penjajahan Belanda. Karena akses transportasi umum ke kamp sangat terbatas saya harus  mendekati kepala kantor saya untuk minta diantarkan ke kamp naik mobil. Alhamdulillah kepala kantor saya sangat pengertian dan mau mengantar saya ke kamp Vietnam. Kamp Vietnam telah menjadi tujuan wisata sejarah populer di kota Batam. Setiap tahun banyak wisatawan lokal dan mancanegara terutama mantan warga penghuni kamp mengunjungi tempat ini. Waktu saya kesana suasana sangat sepi karena baru turun hujan beberapa saat sebelumnya. Dengan membayar tiket Rp 10.000,- untuk pengunjung mobil kita sudah bisa masuk berkeliling kamp. Menurut sejarah kamp ini dibangun pada tahun 1979 untuk menampung ribuan pengungsi dari Vietnam selatan yang bermigrasi karena perang saudara di negeri mereka. Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan mereka mengarungi lautan dengan perahu kayu untuk mencari negara yang mau menampung mereka. Ada yang meninggal dan ada yang bertahan hidup di lautan. Setelah perahu mereka diusir Singapura dan Malaysia mereka memutuskan menuju Indonesia. Akhirnya dengan menjunjung rasa kemanusiaan pemerintah Indonesia berkenan menampung mereka. Para pengungsi ini ditampung di pulau Galang kota Batam. Patung Maria di atas perahu Gereja Nha Tho Duc Me Vo Nhiem Di pulau Galang para pengungsi ditampung dalam sebuah kamp seluas 80 hektar yang dibangun oleh UNHCR. Disitu dibangun berbagai fasilitas seperti barak, sekolah, balai pertemuan, rumah sakit dan rumah ibadah. Bahkan ada tempat pemakaman untuk pengungsi yang meninggal karena berbagai sebab. Para sukarelawan didatangkan dari Indonesia dan berbagai negara untuk mengurus segala keperluan pengungsi. Para pengungsi hanya boleh tinggal dalam wilayah yang sudah dipagari dan tidak diperbolehkan keluar dari kamp apalagi berinteraksi dengan warga sekitar. Saat itu banyak pengungsi yang membawa penyakit Vietnam Rose dari negara asalnya sehingga harus diisolasi. [caption id="attachment_569" align="alignnone" width="300" caption="Bekas barak yang merana"][/caption] Hidup terisolasi dalam kamp membuat banyak pengungsi depresi. Sebagian dari mereka terlibat kasus kriminal seperti pencurian, perkosaan bahkan pembunuhan terhadap sesama pengungsi. Para pelaku kriminal dan orang yang mencoba kabur akan ditahan dalam penjara. Ada sebuah monumen yang dibangun untuk memperingati tragedi Tinh Hoan Lai . Dia adalah korban perkosaan yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena tidak tahan menanggung malu. Bertahun-tahun hidup di pengungsian dengan dibekali keterampilan dan kemampuan bahasa asing pada tahun 1996 sekitar 250.000 pengungsi mengikuti seleksi untuk mendapatkan status kewarganegaraan baru di berbagai negara terutama Amerika Serikat dan Australia. Para pengungsi berjumlah 5.000 orang yang tidak lulus seleksi sempat menolak ketika akan dikembalikan ke Vietnam. Sebagai bentuk protes mereka membakar dan menenggelamkan perahu yang dulu pernah membawa mereka ke pulau Galang. Kini perahu itu telah diangkat dari sungai, diperbaiki dan dipamerkan ke publik. Setelah pengungsi yang tersisa dipulangkan ke Vietnam kamp pengungsi menjadi lengang dan sangat sunyi. Para petugas dan relawan juga telah kembali ke negara masing-masing. Banyak bangunan akhirnya rusak dan merana karena ditinggalkan dan tidak terawat. Sekian tahun kemudian kamp ini dijadikan objek wisata sejarah oleh pemerintah kota Batam. Bekas kantor UNHCR disulap menjadi museum. Disitu dipamerkan foto-foto kegiatan pengungsi, data-data para pengungsi dan barang-barang pribadi yang mereka pergunakan selama di dalam kamp. Hingga kini berbagai bangunan di kawasan ini masih sering dikunjungi wisatawan atau mantan pengungsi. Diantaranya bekas barak, gereja Katholik, vihara Buddha dan pemakaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun