Mohon tunggu...
isnan syah
isnan syah Mohon Tunggu... -

Seorang anak manusia biasa yang sedang mengembara jauh di belahan dunia untuk mencari bekal hidup agar berguna bagi agama dan bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Negri Untuk Orang Kaya

15 Juli 2011   00:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:40 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegelisahanku mungkin bukan satu-satunya yang hinggap di dedaunan yang menguning dan menunggu waktu terlepas dan terhempas angin, kegelisahan seorang pemuda desa diantara puluhan ribu dan mungkin juta-an kegelisahan di tiap-tiap nyawa yang baru saja di lahirkan di dunia tentang hidupnya- masa depannya. Seorang pemuda yang di lahirkan dengan bekal kegelisahan yang di wariskan oleh leluhur-leluhurnya, kegelisahan yang selalu jadi pertanyaan terbesar dari masing-masing manusia yang hidup dan selalu ingin memecahkan pertanyaan itu dengan jawaban yang berbeda-beda walaupun bertujuan serupa. “ kebahagiaan”.

“Nak… Negara tidak menjamin hidupmu, jangankan memberi lencana kebanggaan dan harga diri di mata dunia, mungkin saja namamu tidak tercatat di daftar penduduk, kau harus bisa hidup sendiri, tidak bergantung pada sesuatu yang hanya menjadi iming-iming.

Pesan bapak ketika aku membantu membabat hutan rawa di pedalaman palembang yang panas menyengat.

Aku tidak sepenuhnya mengerti pesan bapak yang duduk di bawah pohon di pinggiran sungai kecil sambil mengasah parang rimbasnya yang panjang terasah putih, yang di gunakan untuk satu kali tebasan pohon dan semak-semak di hadapannya, keringat bapak tampak mengucur dari kedua kening legamnya, baju bekas seragam hansipnya yang sobek di bagian sakunya tampak menganga, menunjukkan saku itu di pergunakan bukan untuk menyimpan uang tapi sebuah kresek lintingan dan kadang kala sebuah botol aqua yang di bawanya dari rumah untuk menghilangkan haus di tengah blukar di teriknya matahari.

“Jangankan memberi bekal harga diri pada generasinya, negrimu telah memberikan tanggungan hutang bagi tiap-tiap kepala bayi yang di lahirkan di negara ini. Untung saja ibumu tidak mencekikmu saat kau lahir dulu.

Tenggorokanku tercekat, parang di tanganku bergetar, aku hanya menghela nafas di bawah rindang pohon.

“Bukan karna kami takut tidak bisa memberimu makan, tapi kami hanya takut kelahiranmu hanya menanggung hutang dari uang yang tidak pernah kami pinjam bahkan hanya untuk melahirkanmu”.

Negri ini bukan untuk orang-orang seperti kita, walaupun kita lahir di tanah ini.

Kau tau kenapa….????

Tiba-tiba bapak bertanya padaku yang sedang mencungkil-cungkil tanah di bawah pohon.

“aku hanya menggelengkan kepala”.

“Karna kita lahir dan terdaftar sebagai orang miskin”.

‘Tahukah kamu negri ini mempunyai buku besar data-data orang miskin di negri ini yang berhak mendapatkan beras “Raskin” pelayanan kesehatan bagi orang-orang miskin. Dan seabrek label lain yang wajib di sandang rakyatnya bila ingin mendapatkan sesuatu untuk melanjutkan sisa hidupnya. Negri ini hanya memberi ikan dan menyembunyikan kailnya dan cenderung merampas jaring kita.

“Bukankah negri kita luas dan kaya sumber daya alamnya, sergahku tidak setuju.

Iya… negri kita memang kaya lee…!! Tapi bukan untuk kita. Tahukah kamu kenapa para penduduk kemarin berkumpul membawa parang, golok, cangkul arit dan pentungan… bergerak bersama menuju ladang yang terdengar suara-suara bulldozer meraung-raung itu. Karna mereka para penduduk ingin mempertahankan sejengkal lahan kehidupannya yang di rampas oleh orang-orang rakus itu, sudah ratusan hectare tanah di pedalaman ini yang di kuasai oleh perusahan itu dengan cara paksa dan manipulasi tingkat tinggi yang lebih kejamnya lagi, mereka di bantu oleh para aparat kepolisian yang beralasan sesuai dengan keputusan pengadilan negri. Inilah wajah negri kita. Suara bapak terdengar dari hembusan asap rokok lintingnya yang berat dan sengak.

“Orang-orang miskin seperti kita sudah di singkirkan tapi masih ingin di musnahkan”. Lihatlah orang-orang kota yang datang ke dusun kita, mereka adalah orang-orang kota dari Jakarta yang kehabisan aspal, sebagai makanannya dan ingin mencuri tanah kita untuk di makannya juga.

“Negri ini sudah tidak aman lagi bagi orang miskin’.

Suara terakhir bapak sebelum kami melanjutkan membabat hutan untuk lahan pertanian.

Kata bapak masih menggaung sesekali terdengar biarpun aku telah jauh dari tanah kelahiran di pedalaman Sumatra, mengembara jauh ribuan mil ke tanah fir’aun ini.

Cairo, 17- 07-2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun