Mohon tunggu...
Isnandar
Isnandar Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Masih belajar dan tetap belajar dalam melihat, mendengar kemudian merefleksikan rasa lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Serenada Kematian

20 Juni 2019   09:00 Diperbarui: 20 Juni 2019   09:13 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari pixabay.com

Kertas-kertas partitur. Tertumpuk distandbook reot. Ada selembar jatuh dilantai. Oh...! Karya sang maestro. Terkulai tak berdaya. 

Bunyi-bunyi dilangit tanya. Merambati pilar kejayaan. Keindahan resonansi dawai. T'lah lama menyanjung jubah aristokrat. 

Ayo mainkan lagi ! Meski komposisi ini berwarna merah. Meski penonton t'lah pergi, entah. Mengunci pagar rumah. Sepotong senja pun berubah.

Seorang maestro. Dengan luka bersimbah darah. Bangkit meraih senjata. Tapi terjatuh ia kembali. Telinganya mengeluarkan darah. Dipanggungnya sendiri ia dibantai-mati. Serenada kematian. Mendulang tepukan tangan.

Berkecamuk perang. Dilangit senja nan muram. Analog versus digital. Begitulah obrolan sore. Ditemani secangkir kopi kental. 

Angin sore yang kering. Masuk melalui jalusi. Ke dalam gedung pertunjukan. Oh...! Karya sang maestro. Terkulai tak berdaya.

Bekasi 19 Juni 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun